Apa yang Salah dengan Radikal?

Oleh: Mamay Maslahat, S.Si., M.Si

 

LenSaMediaNews – Radikal menurut kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan dalam tiga pengertian yaitu: secara mendasar-sampai kepada hal yang prinsip, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Tidak ada yang salah dalam ketiga pengertian tersebut, tapi kenapa saat ini kata “Radikal” memiliki konotasi negatif?

Sehingga stigma buruk sering dilontarkan kepada seseorang yang memegang prinsip kuat dalam beragama, menuntut perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini sangat berbahaya, karena akan membungkam sikap kritis dan kepedulian masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Stigma “Radikal” ini, mirip dengan stigma ”Fundamental” atau “Ekstrimis”. Kosa kata yang digunakan oleh penjajah Belanda kepada para pejuang zaman dahulu untuk menghentikan perjuangan menuntut kebebasan dan kemerdekaan dari kejamnya penjajahan.

Sehingga menurut sebagian ahli pakar, istilah “Radikal dan Radikalisme” sering disalahpahami dan disalahgunakan pada saat ini. Bagi seorang muslim, sikap kritis merupakan sebuah kewajiban yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, serta merupakan bentuk kepedulian bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Aktifitas dakwah yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran, merupakan manifestasi dari sikap kritis seorang muslim. Seorang muslim dituntut untuk menyampaikan dakwah baik secara lisan dan perbuatan, diamnya seorang muslim terhadap kemungkaran adalah suatu pelanggaran terhadap syariat.

“Barangsiapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, jika belum sanggup cegahlah dengan lisanmu, dan jika belum sanggup cegahlah dengan hatimu, dan mencegah kemungkaran dengan hati adalah pertanda selemah-lemahnya iman”. (Al-Hadits)

Kegiatan “menyeru” ini harus terus ada di tengah masyarakat. Setiap komponen masyarakat berhak dan berkewajiban untuk melaksanakan koreksi terhadap penguasa (Muhasabah lil Hukam) jika ada kebijakan penguasa yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran syariat.

Jadi, sikap kritis seorang muslim tidaklah hanya sekedar bersandar pada “azas kebebasan”, akan tetapi bersandar pada sandaran ruhiyah sebagai bentuk ketundukan terhadap perintah Allah dan Rasulnya. “Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Al-Imran 104)

Berdasarkan hal ini, maka berhentilah untuk memberikan stigma yang buruk dan negatif kepada muslimin yang ikhlas melaksanakan salah satu ajaran agamanya. Bagi seorang muslim, cukuplah Baginda Rasulullah Muhammad Saw yang memiliki akhlak yang mulia dan sempurna sebagai suri tauladan (uswah dan qudwah) dalam melaksanakan aktifitas dakwah.

Wallahu a’lam bi showab.

 

[LM/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis