BPJS Meningkat, Rakyat Semakin Sekarat
Oleh Henyk Widaryanti
(Pemerhati Kesehatan Keluarga)
LenSaMediaNews – Jika engkau ingin menjadi pemimpin, jangan pernah mengabaikan keharusanmu untuk melayani bagi kesejahteraan, kebahagiaan dan kecemerlangan mereka yang kau pimpin (Mario Teguh, Motivator).
Sebuah pesan yang sarat akan makna. Menjadi pemimpin memang tidaklah mudah. Tugasnya melayani rakyat dan itu berat. Apalagi dalam kondisi ekonomi yang hampir melarat. Utang bertumpuk, kedaulatan negara diaduk-aduk. Namun, selayaknya tugas pemimpin tetap menjaga rakyatnya. Bukan malah menambah beban kehidupan.
Sebagai contoh, pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab seorang pemimpin. Ia bertugas mengayomi dan memastikan setiap rakyatnya mendapat pelayanan terbaik. Tidak ada pembeda antara si kaya dan si miskin. Namun, apa jadinya jika layanan kesehatan justru membuat rakyat sakit?
Dilansir oleh Kompas.com (18/11) bahwa iuran BPJS akan naik dua kali lipat lebih. Kenaikan ini disinyalir sebagai akibat kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Demi menutupi kerugian tersebut, dilakukan kebijakan kenaikan iuran.
Kenaikan premi BPJS Kesehatan ini diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani pada 24 Oktober 2019. Besaran yang dibayarkan Rp160.000,- untuk kelas I dari sebelumnya Rp80.000,-, sedangkan kelas 2 Rp110.000,- dari sebelumnya Rp51.000,-. Sementara itu, kelas 3 naik dari Rp25.500,- menjadi Rp42.000,-.
Parahnya, khusus kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI) tarif premi telah dinaikkan mulai Agustus 2019. Sehingga pemerintah mencairkan dana Rp14 triliun untuk membayar kenaikan iuran peserta kategori PBI. Menurut Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris, dana tersebut akan dipakai membayar tunggakan BPJS kepada rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang menjadi mitranya.
Dari kenaikan ini, pihak BPJS yakin bisa memperbaiki keuangan mereka yang defisit. Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf , mengatakan masalah defisit ini tidak mungkin teratasi di tahun ini. Namun, di 2020 keuangan BPJS Kesehatan bisa surplus 17,3 triliun.
Dari data Badan Pusat Statistik, persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41 persen atau 25,14 juta orang. Dengan garis kemiskinan pada Maret 2019 tercatat sebesar Rp425.250,-/kapita/bulan. Jadi jika pendapatannya lebih dari 425 ribu per bulan, tidak bisa dikatakan miskin dan bukan tergolong PBI.
Cukupkah uang Rp400.000,- untuk kebutuhan keluarga? dengan harga makanan naik, pendidikan tak gratis, balita yang butuh gizi, transportasi setiap harinya, mampukah Rp400.000,- menutupi semua? Apalagi jika ditambah dengan beban membayar iuran BPJS. Sampai akhirnya rakyat berbondong-bondong turun kelas (Kompas.com, 18/11/19).
Layanan kesehatan semestinya menjadi hak setiap warga negara. Mereka menikmati layanan dengan gratis/murah. Bukan dijadikan lahan bisnis. Alhasil, jika bisnis mulai rugi siapa yang menanggung? lagi-lagi mereka adalah rakyat.
Inilah wajah asli sistem pemerintahan saat ini. Berkedok demokratis tapi sebenarnya menghisap darah rakyat hingga kritis. Kapitalis sebagai ideologinya, demokrasi pemerintahannya. Pasangan yang pas untuk menyengsarakan rakyatnya. Seluruh kebijakan akan diambil dengan pertimbangan untung dan rugi.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Dimana Islam adalah sebuah pandangan hidup yang khas, yang berdasar keimanan terhadap rukun iman. Dengan keimanan pada hari pembalasan, setiap muslim akan berusaha menjalankan kewajibannya. Termasuk seorang pemimpin.
Pemimpin adalah penggembala, akan dimintai pertanggungjawaban. Maka, seorang pemimpin dalam Islam bertugas sebagai riayah su’unil ummah (mengurusi urusan umat). Ia tak boleh mengkomersiilkan segala kebutuhan pokok rakyat. Seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pekerjaan, pendidikan dan layanan umum lainnya.
Dari mana pemimpin mendapatkan biaya untuk memenuhi hak rakyat? dari harta rakyat yang dikelola oleh negara ataupun swasta. Sebagaimana dalam hadits : “Manusia berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api.” (HR. Abu Daud).
Sehingga, segala sumber daya alam (SDA) mulai dari yang dapat diperbaharui hingga tak dapat diperbaharui adalah milik rakyat. Negara tidak berhak memanfaatkannya, apalagi menjual pada asing. Seluruh hasil pengelolaan SDA akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Salah satunya untuk kesehatan.
Maka, Islam menawarkan sebuah tata aturan yang lengkap. Mulai dari sistem kesehatan, ekonomi, pergaulan, sanksi, hingga sistem pemerintahan. Sebagaimana yang dicontohkan nabi Saw. Dengan tata aturan ini, dijamin tidak ada lagi rakyat yang sekarat akibat dikejar iuran kesehatan.
Wallahua’lam bisshowab.
[LenSa/ry]