Oleh: Syasya Kamila Nur Azmina*

 

“Hei, ayo bangun! sudah subuh lho!” aku menggeliat malas, terlihat cahaya matahari mengintip dibalik gorden jendela yang sudah dibuka oleh saudaraku.

 

“Sudah subuh?” aku bertanya setengah menggumam.

 

“Dua menit lalu,” jawab saudaraku.

 

“Ayolah! Bukan saatnya bermalasan-malasan.”

 

Aku tertawa sambil kuhela selimut, “Kau tidak perlu begitu juga, Eliza” godaku di depan wajahnya.

 

Saudaraku, Eliza melotot kepadaku. Aku meringis, bulat matanya membuatku takut juga.

 

“Baiklah, baiklah… Kalau begitu aku mandi dulu, terimakasih sudah membangunkanku,” kataku sambil berjalan keluar kamar menuju kamar mandi.
***

Hmmm… oke! kalau begitu kenalan dulu yuk! namaku Elizabeth Febrian. Biasa dipanggil Elizabeth. Aku terlahir kembar, usia kami terpaut 12 menit saja. Tapi kembaranku ini sangat jutek, namanya Eliza Febian.

 

Aku punya satu sahabat, namanya Katara Rostika, biasa dipanggil Katara. Asal kalian tahu, meskipun aku dan Eliza kembar, nyatanya kami jarang kompak. Jangan tanya kenapa, hehehe…

 

“Eliza, jangan pakai celana jeans lagi ya!”

Aku melipat jaket yang berantakan di atas kasur.

 

“Emangnya kenapa?” jawab Elisa dengan muka kesal.

 

Aku terdiam, kehilangan kata-kata. Bingung harus kumulai dari mana dan harus memilih kata-kata baik yang mana. Eliza menunggu. Karena hanya melihat aku terdiam di depannya, Eliza lantas pergi meninggalkanku. Mulutnya menggumamkan sesuatu, entah apa, terlihat bertambah rasa kesalnya. “Sabar Elizabeth… ,” begitu degup hatiku. Aku hanya diam mematung.

***

 

Aku tertawa melihat wajah bingung Katara. Siang itu, saat istirahat aku memilih duduk di luar kelas, agak malas ke kantin. Sepertinya enak duduk-duduk saja sambil mencoba mencari semilir angin, hari memang sangat terik. Ternyata Katara memilih hal yang sama, ah… memang kalau sudah rejeki gak akan kemana, sekalian saja kusampaikan maksudku kepadanya.

 

“Maksudmu,” perjelas Katara, ia menatapku makin tidak mengerti.

 

Aku berdehem pelan, “Maksudku, kamu mau gak bantuin aku menyadarkan Eliza, supaya dia mau memakai jilbab dan kerudung.” Katara melongo.

 

“Ayolah Ra, tugasmu mudah saja kog” rayuku pada Katara.

 

Sedetik berikutnya Katara bersuara,”Baiklah, aku mau.”

 

Terdengar jawabannya mantab dan membuatku tenang. Tinggal langkah berikutnya kataku dalam hatiku.

 

Katara memang selalu bisa diandalkan. Meskipun Katara sekelas denganku dan tidak dengan Eliza, tapi kami terbilang cukup akrab. Dan kamipun satu kelompok kajian remaja.

***

 

“Gak mau!!” Eliza marah.

 

“Tapi Auratmu kelihatan. Aku takut kamu dosa” jelasku sambil menyeka peluhku sendiri yang sudah sejak tadi membasahi pelipisku.

 

Ya, aku mulai memberanikan diri mengajak saudara kembarku untuk taat syariat. Taat dengan perintah Allah. Sebab itu syarat bagi seorang yang mengaku beriman kepada Allah yang satu dan Muhammad RasulNya.

 

Eliza terlihat sedikit tenang. Dia terdiam, kemudian, “Tapi Elizabeth, nanti aku terlihat tidak keren.”

 

Lirih terdengar suaranya, kulihat Eliza mengatur duduknya supaya lebih nyaman. Soal mode dan fashion Eliza memang lebih trendi dibanding aku. Tapi sejak aku ikut kajian remaja setiap Minggu di sekolahku aku jadi tahu apa itu aurat dan bagaimana seorang perempuan harus memperlakukan auratnya.

 

Aku benar-benar tak ingin Eliza berdosa. Bersama Katara kami sering mengingatkan Eliza. Tak mudah memang, aku dan Katara saja sering mengalami cemoohan orang. Bagiku hijrah itu sendiri berat, butuh kemauan keras. Apalagi anak muda sangat mudah sekali tergoda dalam pergaulan. Out of The day saja bisa bermacam-macam.

 

“Kata siapa, kulihat kamu malah lebih cantik dengan hijab syar’i itu,” kataku meyakinkan dia.

 

Yang terjadi justru Eliza berlari meninggalkan aku, dia terlihat marah sekali. Aku tetap merunduk, “Yaa Allah… beri saudaraku itu hati yang lembut. Aku menyayanginya. Jilbab yang ia kenakan belum sempurna, bercelana dan kerudung yang tipis, kadang atas bawah pula dan hanya jika ada acara kajian saja. Itupun tidak rutin datangnya, selalu saja banyak alasan.”

 

Esoknya di sekolah, hal yang pertama ditanya Katara adalah apa ada kemajuan terkait upayaku mengajak Eliza berhijab.

 

“Ada kemajuan?” tanya Katara persis di depan mejaku.

 

Aku menggeleng. Menunduk kecewa dan berusaha menahan jatuhnya airmata. Aku tak ingin terlihat tidak sabar dihadapan Katara. Bisa jadi usahaku memang belum seberapa.

 

Katara kemudian mengambil duduk di sebelahku dan memelukku erat, “Sabar, dia pasti berubah kog Elizabeth, pasti!”.

 

Ya, benar sekali apa yang dikatakan Katara. Bukankah aku sedang berusaha, jadi pasti masih ada banyak kesempatan. Aku kembali tersenyum. Kami saling melempar tawa.

***

 

Sore ini sesudah les kami bertiga sengaja buat janji bertemu di kafe “Bunga.” Kami ingin menikmati segarnya es krim favorit kami, pasti menyenangkan. Aku berangkat lebih dulu dari rumah karena harus menemani Katara membeli sesuatu.

 

” Elizabeth,” itu suara Eliza.

 

Aku menoleh. “Subhanallah walaupun hamdulillah,” ucapku lirih.

 

Hampir aku tidak mengenali orang didepanku. Eliza berlari dan memelukku.

 

“Makasih Elizabet, makasih banyak,” tangis Eliza pecah sembari tetap memelukku.

 

Ah, Eliza yang berangkat setelahku kini datang dengan memakai hijab biru muda dan kerudung berwarna senada dengan hiasan bunga-bunga kecil berwarna putih. Tampak cantik sekali. Tak terasa lelehan airmata hangat mengalir di pipi. “Terimakasih ya Rabb, Engkau memang memberi yang terindah pada saat yang tepat.” Kubalas pelukan Eliza lebih erat lagi.

 

“Tak perlu berterimakasih Eliza, aku sayang kamu, makanya aku memintamu memakai hijab. Dan kau cantik sekali, aku sampai hampir tidak mengenalimu”.

***

 

Sehari setelahnya, aku memandangi hijab biru muda yang tergantung di tembok kamarku. Ya, setelah kau memakai hijab itu, sebelum banyak hal kuajarkan tentang hijab kepadamu, kau meninggalkanku selama-lamanya. Allah lebih sayang kamu Eliza …

 

Kau yang dulu suka bergaya, kini hanya berbalut kain kafan putih. Segala gaya kerenmu, jeansmu, baju kerenmu hilang dalam sehari. Kanker otak itu lebih cepat merenggut sehatmu. Perkiraan dokter memang tak tepat, namun kematian itu datang dengan pasti, lewat setahun dari yang diperkirakan. Kini, aku hanya bisa memandangi jilbab pertama yang kau kenakan itu, selamat jalan saudaraku.

 

Semoga hijrahmu diterima Allah, disaat terakhir ketaatanlah yang kau tunjukkan. Tak terasa air mataku mengalir. Aku akan selalu mengingatmu.

[SN/LM] 

*Santriwati Rumah Tahfidz Mutiara Ummah Sidoarjo

Please follow and like us:

Tentang Penulis