Pupusnya Kasih Ibu di Kubangan Kapitalisme
Oleh: Sartinah *
LensaMediaNews— Kasih ibu tak terhingga sepanjang masa. Untaian kalimat menyejukkan tersebut kini seolah tak lagi berlaku. Kasih sayang ibu, kini mulai pupus dikalahkan oleh tekanan hidup yang kian berat. Bagaimana tidak, seorang ibu yang seharusnya menjadi pelindung dan pengayom bagi anak-anaknya, kini justru berperan sebagai algojo yang tega menghabisi nyawa darah dagingnya sendiri.
Seorang ibu NP (21) menggelonggong anaknya ZNL (2,5) dengan air galon hingga tewas. NP mengaku menyiksa anaknya lantaran stres diancam akan diceraikan oleh sang suami. Menurut Kanit Reskrim Polsek Kebon Jeruk AKP Irwandhy Idrus, NP stres karena diancam akan diceraikan apabila anaknya dalam kondisi kurus, tidak bisa gemuk. Karena ancaman sang suami, NP tertekan hingga mengambil jalan pintas untuk ‘menggemukkan’ anaknya dengan cara digelonggong air minum. (Islampos.com)
Peristiwa miris tersebut bukanlah satu-satunya. Melainkan, satu dari banyaknya kasus-kasus yang berujung kematian, khususnya anak-anak di tangan orangtua mereka. Sebut saja, FM (29) yang juga tega membunuh bayinya yang baru berumur tiga bulan pada Minggu (1/9/2019). Tersangka ini mengaku mendapatkan bisikan gaib, bahwa dirinya belum siap mengurus seorang anak. (Kompas.com, Rabu, 4 September 2019)
Kapitalisme menggerus naluri keibuan
Puluhan kasus pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap anak-anak mereka, umumnya banyak dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi dan psikologi (takut dicerai, malu pada tetangga). Mengguritanya kasus-kasus tersebut kian menyiratkan fakta miris, bahwa naluri keibuan semakin pudar akibat diterapkannya sistem kapitalisme. Di samping itu, abainya negara terhadap jaminan kesejahteraan kaum perempuan, semakin membawa perempuan masuk dalam pusaran kapitalisme yang menyengsarakan.
Kapitalisme tegak di atas akidah sekularisme yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Sehingga, agama tidak dijadikan standar dalam mengatur manusia. Akibatnya, standar baik dan buruk serta benar dan salah tidak lagi dilihat dari kacamata agama. Melainkan diukur dari standar manfaat. Pun demikian dengan kedudukan wanita yang mulia. Kaum wanita tak lagi bisa fokus mendidik anak-anak mereka disebabkan minimnya kesejahteraan. Di satu sisi, para wanita harus berperan sebagai ibu yang mesti memenuhi hak-hak anak, tetapi di sisi lain, kondisi ekonomi yang jauh dari kata mapan, sering kali memaksa ibu ikut terjun membantu perekonomian keluarga.
Kondisi ini tak urung menimbulkan pengaruh buruk terhadap para ibu. Contohnya, masalah psikologi. Naluri keibuan yang di dalamnya tersimpan jutaan kasih sayang terhadap buah hati mereka, kini semakin tipis bahkan nyaris sirna. Berganti dengan kekejaman dan kebengisan, hingga tega menganiaya bahkan membunuh anak mereka sendiri tanpa rasa iba sedikit pun.
Inilah mirisnya hidup di bawah payung kapitalisme. Wanita yang seharusnya memiliki kedudukan mulia, kini hanya diperlakukan sebagai budak ekonomi yang menopang pergerakan ekonomi suatu negara. Para penguasa tidak pernah serius mencurahkan perhatiannya untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Sebab, kapitalisme memang tidak dirancang untuk mengurusi kesejahteraan rakyat secara sempurna.
Jaminan Islam terhadap peran keibuan
Sebagai agama paripurna, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Semua tersusun rapi dalam bingkai syariat. Di dalamnya memuat jaminan atas hak rakyat, termasuk jaminan kesejahteraan terhadap peran keibuan.
Islam memandang tentang tingginya status dan pentingnya peran keibuan. Sehingga, perlu ditegakkan oleh aturan yang lebih spesifik terkait tugas serta hak laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Hal ini akan menjelaskan spesifikasi peran utama perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh anak-anak. Sekaligus menjelaskan peran laki-laki sebagai penjaga dan pencari nafkah bagi keluarga.
Kendatipun seorang wanita memiliki peran utama di dalam rumahnya, tetapi tidak menghilangkan hak mereka untuk bekerja jika mereka menginginkan. Kaum perempuan juga memiliki hak istimewa atas nafkah yang diberikan oleh suami mereka atau kerabat laki-laki mereka. Dimana, mereka berkewajiban secara finansial memelihara anggota perempuan dari keluarga mereka, mengangkat beban mencari nafkah dari perempuan.
Allah Swt berfirman:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (TQS an-Nisa: 34)
Demikianlah, Islam menempatkan manusia sesuai dengan fitrah dan kedudukannya, termasuk peran laki-laki dan wanita dalam keluarga. Di bawah naungan syariat Islam, peran keibuan dijaga dengan sangat sempurna. Penjagaan tersebut tidak mungkin diberikan oleh ideologi kapitalisme. Saatnya kembali pada Islam sebagai pedoman hidup dengan menerapkannya secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bishshawab. [Lm/Hw]
*Pegiat Opini, Member Akademi Menulis Kreatif