Wajah Muram Kebebasan Berekspresi

Oleh Tety Kurniawati

(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

LenSaMediaNews– Kerikil tajam tengah mewarnai perjalanan kebebasan berekspresi di negeri tercinta. Kritik sebagai wujud kepedulian rakyat akan perjalanan kekuasaan, dianggap ancaman yang berbahaya. Hingga lahir produk undang-undang bernuansa anti kritik semisal UU ITE, Perpu Ormas dan UU politik terkait presidential treshold sebagai jawabnya. Semua produk hukum tersebut kemudian justru diketahui publik sebagai alat pembungkam. Menjerat mereka yang kritis terhadap rezim lewat penangkapan maupun pemenjaraan tanpa melalui proses peradilan.

Terkini dan menarik perhatian publik. Tiga personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapat sanksi hukum dan dicopot dari jabatannya. Para anggota ini mendapatkan hukuman disiplin karena ulah istrinya yang mengunggah konten di media sosial terkait kasus penusukan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto. (Kontan.co.id, 12/10/19)

Fenomena yang sejatinya menggambarkan dengan jelas ambiguitas rezim pengemban demokrasi. Lantang mengkampanyekan kebebasan, namun faktanya justru anti kritikan. Hal yang meniscaya atas sistem buatan manusia yang penuh keterbatasan. Hanya mengakomodir kepentingan minoritas dan mengabaikan kepentingan mayoritas ketika diterapkan. Membuat demokrasi rentan konflik serta mustahil menghadirkan solusi yang menentramkan. Wajam muram kebebasan berekspresi hadir tak terhindarkan.

Ketika kelemahan ini tak mampu dihadang kemunculannya. Adu argumentasi pun tak lagi menemukan titik temunya. Pembungkaman jadi pilihan instan atasnya. Tak peduli meski ada hak rakyat yang termutilasi saat menyampaikan pendapat dan usulannya bagi penguasa. Alih-alih berharap masukan yang mencerahkan demi kemajuan bangsa. Kritik bagi rezim dilabeli ujaran kebencian yang mesti berangus ke akarnya.

Berbeda halnya apa yang kita temui dalam naungan Islam. Kritik dimaknai sebagai hak penguasa yang harus tertunaikan. Sebagai bagian mekanisme kontrol serta check and balance bagi sebuah kekuasaan. Agar tidak terjadi kedzaliman dan penyimpangan terhadap syariat Islam.

Sejarah telah mencatat bagaimana kepemimpinan Islam benar-benar memberi perhatian terhadap tiap keluhan dan kritikan umat. Telah masyur kisah Khalifah Umar bin Khattab yang ditegur seorang wanita karena membatasi pemberian mahar. Wanita itu kemudian membacakan firman Allah Swt, “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” ( QS An Nisa : 20).

Mendengar teguran tersebut Umar berkata, “Benarlah wanita itu dan saya yang keliru”. Sungguh keberanian wanita tersebut mencerminkan dijaminnya hak dan kewajiban umat dalam Islam. Di lain sisi Umar menunjukkan demikianlah harusnya kewajiban penguasa dalam mendengar dan melayani rakyatnya. Amar ma’ruf nahi munkar senantiasa terjaga. Hingga terpelihara dengan baik segala urusan umat.

Bahkan Rasulullah memberikan pujian atas aktivitas memuhasabahi penguasa dzalim. Beliau bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang dzalim” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Al Nasa’i, Ibnu Majah, Al Hakim dan lainnya).

Demikianlah Islam memaknai kritik sebagai bentuk muhasabah terhadap penguasa yang mampu menghadirkan perbaikan, menghilangkan kedzaliman dan mencegah penyimpangan terhadap syariat Islam. Penguasa muslim menyadari benar bahwa kekuasaannya hanyalah amanah yang harus ditunaikan. Maka menjadi kewajiban mendesak bagi setiap diri yang mengaku muslim untuk mengembalikan kepemimpinan Islam. Agar kritikan yang hadir atas dorongan keimanan tak lagi dimaknai sebagai ancaman. Tapi justru diharapkan guna terwujudnya keadilan yang dirindukan.

Wallahua’lam bish showab.

 

[Ls/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis