Wajah Ganda Kebebasan Berpendapat di Sistem Sekuler

Oleh: Sartinah
(Komunitas Peduli Umat, Member Akademi Menulis Kreatif)

 

LensaMediaNews- “Menurut saya, akan sangat baik kalau hewan kurban diganti uang cash, dijadikan semacam ‘endowment‘ untuk biaya pendidikan, misalnya.” (portal-islam.id). Demikian cuitan Ulil Abshar Abdalla, tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) melalui akun twitternya. Cuitan tersebut tentu saja mengundang reaksi para tokoh untuk mengkritisinya.

Seperti yang diungkapkan oleh alumni Al-Azhar Mesir, Hasmi Bakhtiar. Menurutnya, memotong hewan kurban itu sifatnya “ta’abbudiyah” tidak bisa diganti dengan sedekah mal, sama seperti jumlah rakaat dalam salat atau berwudu setelah kentut, anggota badan yang mengeluarkan angin justru malah tidak ikut dibasuh.

Hal senada juga diungkapkan oleh Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ma’ruf Amin yang menyatakan bahwa kewajiban mengeluarkan kurban tidak dapat diganti uang cash, sebagaimana pendapat yang disampaikan sebagian orang bahwa kurban dapat diganti uang. Menurutnya lagi, kalau kurban diganti uang namanya sedekah. Karena kurban berarti memotong atau menyembelih, karenanya ia tidak dapat diuangkan atau diganti. (NU Online, Jumat, 14/1 2005)

 

Sistem Sekuler Menjamin Kebebasan yang Kebablasan

Sistem demokrasi kapitalisme liberal menganut empat pilar kebebasan, yakni kebebasan berakidah, berperilaku, berpendapat, dan berkepemilikan. Kebebasan tersebut begitu diagungkan dan dijamin pelaksanaannya dengan dalih hak asasi berpendapat. Pasalnya, kebebasan berpendapat yang dianut negara-negara Barat termasuk negeri-negeri muslim, meniscayakan setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya tanpa batas.

Kebebasan ini tak urung membuat banyak orang tak lagi melihat rambu-rambu syariat ketika mengutarakan pendapatnya. Dalil-dalil yang telah tertulis dalam lembaran Alquran pun dengan mudahnya dikritisi, digugat, bahkan dinyatakan tak sesuai dengan hak asasi manusia. Sebut saja terkait hukum rajam, potong tangan, cambuk, dan lain-lain. Kini, ajaran Islam tentang kurban pun tak luput dari kritikan.

Sayangnya, kebebasan yang begitu diagungkan ternyata tidak berlaku untuk Islam, pemeluknya, dan siapa saja yang mendakwahkan ajarannya. Menyuarakan Islam seolah menjadi hal terlarang di alam demokrasi. Sistem ini hanya ramah bagi penyeru sipilis, tetapi keras pada Islam. Sehingga acap kali muncul perlakuan tak logis terhadap Islam, simbol, dan para pemeluknya. Wajah ganda kebebasan berpendapat menyeruak di tengah-tengah sebuah negeri yang konon menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Akhirnya, ajaran Islam dianggap membahayakan dan tidak sesuai dengan prinsip demokrasi, sementara pemikiran selain Islam dibiarkan bebas berkembang. Siapa pun yang mengkritisi Alquran bahkan mengacak-acak hukum Islam tetap aman dan nyaman berlindung di balik label HAM. Sebaliknya, mereka yang mendakwahkan Islam dan ajarannya sangat cepat diberi stigma radikal, ekstrimis, hingga teroris.

Inilah hipokrisi demokrasi liberal. Di satu sisi sangat menjunjung tinggi hak asasi manusia, tetapi di sisi lain membungkam kebebasan berpendapat bagi siapa saja yang tak sejalan dengan misi Barat yang liberal. Hak asasi manusia ternyata hanya jargon ilusi yang tidak pernah terbukti.

 

Islam Mewujudkan Kebebasan tanpa Kebablasan

Kaum muslim selayaknya hidup dan mati selalu terikat dengan syariat Islam. Sebab, Islam mengatur seluruh interaksi manusia secara paripurna untuk menyelaraskan aktivitas seorang hamba dengan perintah dan larangan Allah Swt. Sistem Islam juga menjamin kehidupan yang penuh kasih sayang dan berkah bagi kemanusiaan.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah berkata, “Syariat Islam dibangun berdasarkan asas hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Ia merupakan keadilan yang bersifat mutlak, kasih sayang, kemaslahatan, dan hikmah. Oleh karenanya, setiap persoalan yang bertolak belakang dari keadilan menuju kezaliman, kasih sayang menuju kekerasan, maslahat menuju kemudaratan, serta hikmah menuju sesuatu yang bernilai sia-sia, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, sekalipun ditafsirkan sebagai syariat.” (I’lamimul Muwaqqi’in, 3/3)

Sejatinya, kebebasan dalam Islam tidak boleh melangkahi syariat. Islam dengan sempurna telah meletakkan aturan sesuai fungsi dan porsinya. Bukanlah hak manusia merubah syariat demi mengikuti hawa nafsunya. Tetapi menjadi kewajiban manusia untuk tunduk dan taat pada aturan Allah Swt.

Demikianlah, demokrasi kapitalisme sekuler bukanlah tempat layak bagi kehidupan manusia. Sistem lemah yang terbukti tidak mampu menciptakan kehidupan yang penuh berkah bagi kemanusiaan. Saatnya umat bangkit dan tidak lagi terlelap dalam buaian ilusi demokrasi sekuler. Kemudian saling bahu-membahu untuk memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Allah, sebagai bentuk ketundukan pada Sang Pencipta.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

[LS/Ra]

Please follow and like us:

Tentang Penulis