Merindukan Kemerdekaan Hakiki
Tepat 17 Agustus 2019, genap sudah 74 tahun Indonesia mencapai kemerdekaannya. Boleh saja kita berbangga bersorak merdeka, sebab puluhan tahun lalu penjajah telah hengkang dari bumi pertiwi. Namun sayangnya, penjajahan masih terus berlanjut dengan jubah dan topeng yang berbeda.
Jika dulu pakai senjata, kini bisa lewat perjanjian semata, lewat kerja sama dan bubuhan tanda tangan, migas bisa lepas, kekayaan alam bebas dirampas. Lantas masih pantaskah melakukan euforia kemerdekaan? Sementara kesejahteraan rakyat semakin jauh dari harapan. Negeri inipun masih sangat bergantung pada asing dalam berbagai aspeknya.
Lihatlah PT Freeport, kekayaan emas di bumi Papua terus dieksploitasi bahkan diberi perpanjangan izin tambang. Masuknya perusahaan-perusahaan asing yang semakin mencengkeram negeri ini. Bahkan segala kebijakan-kebijakan dibuat dan dikemas berdasarkan kepentingan Asing.
Padahal Islam punya aturan bahwa SDA (Sumber Daya Alam) harus dikelola sepenuhnya oleh Negara. Namun begitulah merdeka tanpa tuntunan wahyu Tuhan. Aturan-Nya terbuang, hanya cukup mengatur ruang individual. Sedangkan persoalan publik diserahkan pada akal dan kepentingan manusia. Padahal kemerdekaan yang hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk penjajahan.
Merdeka ialah bebas dari segala eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia. Bebas melaksanakan syariat tanpa was-was, bebas berbuat taat tanpa stigma sesat, bebas berislam kaffah tanpa labeling makar negara. Dan merdeka yang hakiki adalah ketika hukum Allah diterapkan secara total dalam kehidupan. Wallahu a’lam bishawab. [RA/WuD]
St. Nurwahyu