Berburu Kursi Nyaman, Berebut Kekuasaan
Oleh Tety Kurniawati
(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)
LenSaMediaNews– Setelah Partai Golingan Karya (Golkar), giliran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang merapat ke Istana untuk mengucapkan selamat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ketika ditanya mengenai jumlah ideal kursi menteri untuk PKB, Cak Imin yakin usulan partainya akan mendapatkan perhatian khusus. Meski awalnya enggan menjawab, Cak Imin menyebut setidaknya sepuluh kursi bagi PKB di kabinet. (Sindonews.com, 2/7/19)
Partai Nasdem tidak ingin kalah dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang meminta jatah sepuluh menteri di pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Anggota Dewan Pakar Partai Nasdem, Tengku Taufiqulhadi mengatakan, pihaknya akan meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Hal itu dikarenakan jumlah kursi Nasdem di DPR lebih banyak ketimbang PKB. (Jawapos.com, 3/7/19)
Kiranya benar ungkapan yang akrab di tengah masyarakat bila hasrat keduniawian manusia itu tak akan pernah habis. Ibarat meminum air laut, semakin diminum hausnya kian terasa. Begitulah pula kiranya perilaku para politisi saat ini. Kekuasaan seolah menjadi magnet besar yang menarik tuk diburu dan diperebutkan.
Drama penuh intrik para politisi dalam meraih jabatan belakangan jadi penghias media pemberitaan. Segala bentuk pengorbanan direlakan agar masuk dan berada dekat di lingkaran kekuasaan. Atas nama pencitraan dan meraih kursi nyaman yang diidamkan. Halal haram pun diabaikan.
Gegap gempita perburuan kursi dan perebutan jabatan di Istana negara sesungguhnya bukanlah hal yang baru. Bukan rahasia jika dalam panggung politik tak ada kawan abadi, hanya kepentingan yang abadi. Hubungan transaksional yang melekat di sistem demokrasi telah meniscayakan kekuasaan sebagai ajang bancakan. Tak heran jika kapabilitas calon pemimpin bukanlah sesuatu yang menentukan atas suatu jabatan. Kekuasaan pun dikelola sekedar untuk membayar hutang sosial dan materi yang dikeluarkan.
Akibatnya, saat menjabat mereka tidak merasa berkewajiban memikirkan nasib rakyat ataupun berupaya memenuhi hak-haknya. Segala tuntutan rakyat sudah dianggap tuntas tertunaikan ketika berjuang merebut kekuasaan. Maka ketika kursi nyaman didapatkan. Menikmati hasil perjuangan dengan memperkaya dan mengamankan posisi diri sendiri dan kroni jadi tujuan. Lupa amanah jabatan kelak akan meminta pertanggungjawaban.
Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan apa yang diatur dalam naungan Islam. Menjadi pemimpin dalam Islam bukanlah perkara yang ringan. Sungguh berat tanggung jawab yang harus ditunaikan. Tidak sekadar mengatur kesejahteraan hidup rakyat. Namun juga memastikan tegaknya syariat Illahi dalam kehidupan.
Karena beratnya beban yang harus diemban inilah, tidak diperbolehkan seorang muslim untuk meminta jabatan tanpa kapabilitas yang memenuhi kualifikasi jabatan. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu meminta untuk menjadi pemimpin. Sesungguhnya jika kepemimpinan diberikan kepadamu karena diminta, maka kamu akan memikul tanggung jawab sendirian. Dan jika kepemimpinan itu diberikan kepadamu bukan diminta, maka kamu akan dibantu untuk menanggungnya.” (HR. Bukhari-Muslim)
Suatu ketika dengan i’tikad memberi kontribusi lebih untuk umat, Abu Dzar Al Ghifari salah satu tokoh ternama ahl al-shufah menghadap Rasulullah Saw dan meminta agar dilantik menjadi pejabat. Kemudian seraya menepuk pundak Abu Dzar, Nabi Saw berkata, “Wahai Abu Dzar engkau seorang yang lemah, sementara kepemimpinan itu adalah amanat. Pada hari kiamat nanti ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam kepemimpinan tersebut.” (HR Muslim)
Abu Musa Al Asy’ari pernah meriwayatkan bahwa suatu ketika ia dan dua orang dari kaumnya datang menghadap Nabi saw. Salah seorang dari mereka berkata, “Ya Rasulullah angkatlah kami sebagai pejabatmu” Satu orang lagi juga mengatakan perkataan yang sama. Lalu Rasulullah bersabda, “Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintah ini kepada orang yang meminta dan berambisi untuk mendapatkannya.” (HR Bukhari Muslim)
Seorang muslim hendaknya senantiasa memohon keselamatan kepada Allah dalam segala urusannya, termasuk yang terkait dengan hasrat berkuasa. Karena ia tidak pernah tahu, apakah jabatan itu akan berujung baik atau buruk baginya. Terlebih jika niatnya didasari keinginan memuaskan dahaga syahwat keduniaan semata. Alih-alih membawa bahagia, keberadaannya justru menjatuhkannya ke lembah dosa.
Demikianlah jika bangsa ini ingin memiliki pemimpin yang amanah, peduli, mencintai dan dicintai rakyat. Maka demokrasi yang nyata terbukti melanggengkan kerusakan di muka bumi harus segera kita tinggalkan. Diganti dengan upaya penerapan aturan-aturan Illahi secara totalitas dalam kehidupan. Hingga atas ijin Allah masa-masa kegemilangan dan kejayaan Islam kan terulang.
Wallahua’lam bish showab.
[Lm/Hw/Fa]