Frustrasi Memicu Tingginya Angka Bunuh Diri
Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)
LensaMediaNews- Tren bunuh diri kini semakin digilai. Tiap tahunnya angka bunuh diri kian membumbung tinggi. Dilansir dari VOA Indonesia, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap 40 detik, seseorang di dunia mengakhiri hidupnya. Angka ini setara dengan 800.000 jiwa setiap tahun yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri.
Di Indonesia sendiri kecenderungan untuk mati dengan bunuh diri semakin terlihat. Seperti yang belum lama ini viral dalam video percobaan bunuh diri. Seorang pria nekat mencoba terjun dari jembatan layang Lempuyangan, Yogyakarta, karena diputuskan oleh pacarnya (tribunnews.com, 14/06/2019).
Tak kalah memprihatinkan, warga dusun Beji Kidul, Desa Karangsono, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, Jatim memilih bunuh diri karena tidak memiliki uang untuk berlebaran. Ibu dan anak meminum racun potas yang dicampurkan ke dalam kopi (sindonews.com, 07/05/2019).
Di Sukoharjo, Seorang ayah tega menganiaya kedua anaknya dan mengajak mereka bunuh diri bersama. Beruntung aksi tersebut berhasil digagalkan oleh warga setempat. Diduga kuat aksi bunuh diri tersebut karena terlilit masalah keuangan (detik.com, 25/06/2019).
Begitu mirisnya kondisi masyarakat di negeri ini. Tekanan bertubi-tubi dari berbagai arah membuat mereka hilang akal. Tertekan dengan berbagai kebutuhan yang kian tinggi dan tak mampu terbeli. Mencari pekerjaan juga sangat susah namun PHK bergentayangan dimana-mana. Belum lagi tarif TDL yang diam-diam telah naik 20 persen. Pajak yang semakin mendesak. Tak ada lagi ruang gerak, mengadu pun tak pernah didengar.
Alih-alih memberikan jalan keluar kongkrit bagi kesempitan rakyatnya, yang ada justru sebuah wacana membentuk Menteri Kebahagiaan. Dengan alasan ketertarikan dengan hashtag Indonesia Bahagia. Karena dianggap sebagai tujuan bernegara dan ini seharusnya menginspirasi kita bagaimana membuat kita menuju Indonesia bahagia. Bambang Soesatyo selaku ketua DPR menganggap Usulan membentuk Kementriaan Kebahagiaan dan Toleransi perlu dibentuk. Apalagi beberapa negara telah melakukannya juga.
Dengan adanya usulan membentuk Menteri Kebahagiaan berarti secara tidak langsung negara telah mengakui bahwa rakyat Indonesia sedang tidak bahagia alias frustrasi. Dan penyebabnya tak lain karena kinerja para pemegang tampuk kekuasaan yang tidak pro terhadap rakyat. Setiap kebijakan yang dihasilkan memperburuk keadaan kaum kecil.
Jangan sampai pembentukan Menteri Kebahagiaan ini justru menguras kas negara, tanpa ada hasil yang diperoleh secara nyata. Seperti pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancansila (BPIP) yang jelas-jelas menguras kantong namun tidak ada hasil yang diperoleh. Yang ada justru memberatkan keuangan negara. Bukannya rakyatnya terbebas dari frustrasi yang ada justru semakin depresi karena dibebani pajak yang semakin tinggi untuk menggaji.
Mewujudkan Indonesia bahagia akan sulit tercapai selama masih menerapkan sistem sekuler kapitalis yang rakus dan egois. Karena kebahagiaan hakiki hanya bisa terwujud dengan ketaatan kepada aturan ilahi. Yakni dengan tunduk menerapkan aturan Allah di atas muka bumi ini.
Wallahu ‘alam bishowab.
[LS/Ry]