Pengantin Pesanan yang Menggiurkan
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) menyebut sebanyak 29 WNI menjadi korban pengantin pesanan di China. Data tersebut diperoleh berdasarkan pengaduan korban sepanjang 2016-2019.
Para korban dijanjikan akan menikah dengan orang kaya asal China dengan iming-iming jaminan akan seluruh kebutuhan hidup korban serta keluarganya. Kesulitan hidup dengan beban ekonomi yang sangat tinggi di era kapitalisme saat ini, tentu ini adalah tawaran yang sangat menggiurkan. Tak bersusah payah lagi membanting tulang memenuhi kebutuhan hidup.
Sayangnya, untung tak dapat diraih malang tak dapat dicegah. Setibanya di China, bukannya menjalani peran sebagai seorang istri, melainkan dipekerjakan sebagai buruh dengan durasi waktu yang lama setiap harinya. Gaji justru dinikmati oleh suami dan keluarganya.
Akibat dari ide keseteraaan gender, para perempuan merasa mendapatkan angin segar karena diberi kebebasan dan diperlakukan setara sebagaimana laki-laki. Namun, alih-alih mendapatkan hak mereka, justru sebaliknya dieksploitasi sedemikian rupa. Hingga terjebak dalam tindak pidana perdagangan orang, yang disamarkan dengan pernikahan.
Di mata kapitalis, perempuan hanyalah aset yang mampu menghasilkan materi untuk mengokohkan hegemoni kapitalisme. Untuk mencapai itu, maka perempuan dimanfaatkan sebagai penggerak roda industri yang dinilai dengan harga murah. Tak peduli, apakah pekerjaan itu halal atau haram. Selama bisa menghasilkan materi sebanyak-banyaknya, maka perempuan tak hentinya akan menjadi objek dan komoditas.
Selama kapitalisme menjadi pandangan hidup, maka kasus perdagangan perempuan yang disamarkan dengan ‘pengantin pesanan’ atau pun jenis eksploitasi lainnya, tak akan pernah selesai. Akan terus ada hingga berganti sistem dengan menjadikan Islam sebagai landasan hidup dan aturan bernegara. Dengan begitu, perempuan akan terjaga dan terlindungi, serta dimuliakan.
Hamsina Halik, Mamuju, Sulawesi Barat.
[Lm/Hm/Fa]