Hitam Putih Sang Mualaf
Oleh: Erwina Mei Astuti
(Komunitas Penulis Jombang)
LensaMediaNews– Dua kalimat syahadat telah diucapkan sang pesohor, Deddy Corbuzier, tanggal 21 juni 2019 yang lalu. Ucapan itu menjadi titik awal perjalanan hidupnya menjadi seorang muslim. Mualaf, sebutannya. Kejadian ini sontak disyukuri umat Islam. Banyak yang menyambut dan mendoakan. Bertambah saudara baru, saudara seakidah.
Delapan bulan lamanya, Deddy serius belajar Islam. Meski banyak yang mengira berkaitan dengan wanita, namun Deddy tegas menolak. Bukan karena wanita, tapi hidayah telah datang padanya (Jpnn.com, 23-6-2019). Tak dipungkiri interaksinya dengan kalangan muslim sering terjadi. Pertanyaan kritis sering dilontarkan Deddy. Kadang sulit menjawabnya, demikian pengakuan Gus Miftah, sosok yang membimbing Deddy mengucapkan dua kalimat syahadat.
Awalnya proses keislaman Deddy akan disiarkan langsung oleh Hitam Putih demi syiar Islam. Sayangnya rencana itu tak berjalan sesuai harapan karena terbentur peraturan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) bahwa acara itu dianggap rasis (Liputan6.com, 19-6-2019). Televisi tak menayangkan tak jadi persoalan, toh di era medsos ini banyak aplikasi yang bisa mengunggah berbagai kejadian. Youtube misalnya. Tak terkecuali proses keislaman pemilik 4,8 juta follower ini.
Harapanpun disematkan pada presenter Hitam Putih ini. Profesinya dalam entertainment yang menjadi tontonan dan statusnya kini diharapkan mampu menginspirasi penggemarnya. Karenanya dukungan sangat dibutuhkan.
Perubahan statusnya menjadi muslim telah terjadi. Perjalanan panjang dalam pencarian kebenaran telah sampai ujung. Namun, justru menjadi mualaf berarti membuka lembaran baru. Perjalanan menjadi hamba Allah yang hakiki sedang dimulai. Seperti hitam telah menjadi putih.
Dengan demikian keyakinan akan dien ini haruslah dibarengi dengan keterikatan terhadap syariat Islam. Karena amal yang telah dilakukan mulai diperhitungkan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh Bukhari: “Apabila seseorang masuk Islam kemudian Islamnya menjadi baik, niscaya Allah akan menghapus segala kejahatan yang telah dilakukan. Setelah itu, ia akan diberi balasan yaitu setiap kebaikannya akan dibalas Allah sepuluh sampai tujuh ratus kali. Sedangkan kejahatannya dibalas (hanya) setimpal kejahatannya itu, kecuali jika Allah memaafkannya.”
Maka tidaklah mudah bagi mualaf untuk menjalani status barunya. Penguatan demi penguatan layak terus dilakukan. Lingkungan yang kondusif sangat dibutuhkan. Pun tekad kuat dari diri sang mualaf untuk terus belajar Islam tetap menjadi kunci. Demi mewujudkan keistiqomahan.
Islam telah memberikan tuntunan untuk menguatkan seorang mualaf. Baginya menjadi salah satu pihak yang berhak mendapatkan zakat, sebagaimana dalam QS. At Taubah : 60 yang artinya “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
Rasulullah Saw juga memberikan perlakuan khusus bagi mualaf, sebagaimana yang terjadi pasca perang Hunain. Ghanimah (harta rampasan perang) justru diberikan kepada Abu Sofyan, Uyainah, Al Aqra’, dan Suhail bin ‘Amar. Beliau membagikan harta ghanimah untuk para mualaf hanya sarana untuk mengikat agar hatinya tak berpaling dari Islam.
Demikianlah hitam putih perjalanan sang mualaf. Namun demikian, mualaf harus diurusi oleh negara. Karena dalam Islam, khilafah sebagai bentuk negara menjaga hak umat termasuk dalam hal aqidah. Maka berbagai upaya yang mampu memalingkan muslim menjadi murtad akan ditiadakan. Sebaliknya mualaf akan terus didukung dan dikuatkan.
Wallahua’lam bisshowab.
[Lm/Hw/Fa]