Tenggelam dalam Jeratan Utang

 

Oleh Iva Oktaviyani

 

LenSaMediaNews– Kementerian Keuangan telah mencatat total utang pemerintah berjumlah Rp 4.528,45 triliun per April 2019. Angka tersebut menjadi yang paling terakhir dirilis oleh pemerintah. Sebagaimana dikutip dari data APBN KiTA, Rabu (12/6/2019). Jika dilihat dalam kurun waktu setahun total utang pemerintah pusat sudah bertambah Rp 347,84 triliun. Pada April 2018 posisi utang pemerintah sebesar Rp 4.180,61 triliun. (Detik.com, 12/06/2019)

Dalam cara pandang ekonom kapitalis, besarnya utang pemerintah menjadi perdebatan yang cukup sengit, ada sebagian ekonom yang memandang bahwa utang publik adalah kutukan, sementara sebagian yang lain menilai sebagai sesuatu hal yang menguntungkan selama tidak berlebihan. Padahal dampak peningkatan utang ini jelas akan menyebabkan beban yang tidak semestinya pada generasi mendatang. Secara logis pemerintah dengan kebijakan fiskalnya akan melakukan penekanan pengeluaran dan penambahan pemasukan atau dengan peningkatan pajak.

Apalagi utang dalam sistem Kapitalisme juga menerapkan riba yang menjadi alat penjajahan bagi negara-negara kapitalis kepada negara-negara berkembang. Sehingga sebuah negara tidak akan bisa menjadi negara yang berdaulat dan mandiri karena ia harus mematuhi perjanjian yang telah di tandatangani saat mengambil utang tersebut. Hal ini tentunya akan menjadikan rakyat yang hidup kian sengsara dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan yang tidak menguntungkan mereka.

Sesungguhnya, Islam memandang bahwa persoalan pinjaman utang luar negeri, yang berbasis bunga atau riba, hukumnya adalah haram secara mutlak. Sebagaimana Firman Allah Swt, yang artinya :
“Kemudian jika kamu tidak mau mengerjakan (meninggalkan Riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rosul-Nya akan memerangimu”. (Qs Al-Baqarah: 279)

Kemudian penjelasan dari salah satu hadist Nabi yaitu, Dari Abu Hurairah ra. Bahwasanya Rosulullah Saw bersabda yang artinya:
”Tinggalkanlah tujuh hal yang membinasakan… (Salah satunya) adalah memakan Riba”. (HR. Bukhari & Muslim)

Itulah seruan atau perintah untuk bersegera menjauhi riba dan tidak melakukan aktivitas apapun yang berhubungan dengan riba, termasuk pinjaman utang luar negeri yang memakai sistem riba. Karena dengan melakukan transaksi riba, maka sesungguhnya manusia telah berani menyatakan untuk perang dengan Allah Swt dan Rosul-Nya. Sayangnya karena kita kini hidup di dalam negara yang menerapkan sistem Kapitalis, hal yang sesungguhnya telah kita ketahui bahwa riba adalah sebuah kemaksiatan yang besar kini tak lagi dipandang sebagai sebuah dosa.

Sebenarnya, utang yang terkait dengan individu hukumnya adalah mubah. Untuk itu setiap individu boleh berutang kepada siapa saja yang dikehendaki dan berapa jumlah yang diinginkan. Akan tetapi, jika utang tersebut ternyata malah membawa bahaya maka utang tersebut diharamkan. Pada akhirnya, kita tidak akan bisa menjadi sebuah negara yang berdaulat penuh dan mandiri jika masih terjerat utang pada negara Kapitalis. Maka sudah saatnya kita kembali pada penerapan sistem Ekonomi Islam agar kita bisa terlepas dari jebakan utang yang berbunga dan menyengsarakan rakyat. Sayangnya penerapan sistem Ekonomi saja pun tentu belumlah cukup karena ekonomi sebuah negara tidaklah berdiri dengan sendirinya melainkan juga karena ditopang oleh sistem lain seperti sosial, hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Sehingga jika sebuah negara ingin mensejahterakan rakyatnya, maka negara tersebut harus berani untuk menerapkan sistem Islam secara totalitas di semua segmen yang ada.

Wallahua’lam bishowab

[Lm/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis