Perempuan dalam Islam Tak Butuh Bahas Kesetaraan

 

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Member Revowriter Sidoarjo

 

LenSaMediaNews– “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-nisa (4) : 32)

Ayat di atas memberikan pengajaran yang sangat mendalam kepada kita. Bahwa Allah SWT telah menciptakan manusia dengan jenis, karakter dan sifat yang berbeda. Yaitu pria dan wanita. Dihadapan Allah, sama-sama hamba Allah. Memiliki potensi hidup yang sama yaitu Hajatul Udwiyah (kebutuhan mendasar seperti makan dan minum) dan Gharizah (naluri atau insting seperti naluri mempertahankan diri, naluri melestarikan jenis dan naluri beragama). Oleh karena itu, sebagai manusia secara umum sama-sama memiliki kewajiban untuk terikat, tunduk dan patuh kepada hukum syariat ketika mereka memenuhi potensi hidupnya.

Allah juga memberikan seperangkat aturan khusus kepada manusia sebagai pria dengan sifat kepriaannya. Dan sebagai wanita dengan sifat kewanitaannya. Dalam Islam tidak ada pembahasan tentang kesetaraan antara wanita dan pria .

Karena memang ini tidak ada pentingnya. Sejak awal pria dan wanita diciptakan Allah sudah berbeda, baik secara fisik maupun secara sifat. Membahas setara tidak setara justru akan merusak seseorang dari akidahnya. Padahal ia hanya diperintah untuk taat, tak menyimpan rasa iri dengki serta rida atas kelebihan yang diberikan Allah kepada masing-masing dari keduanya.

Karena sesungguhnya pengkhususan hukum syara bagi pria saja atau bagi wanita saja itu adalah bagian dari solusi Allah untuk seluruh amal pria atau wanita dalam hubungannya dengan amal seorang hamba. Intinya, seluruh syariat Allah itu untuk persoalan tertentu menyangkut jenis manusia tertentu juga. Seperti dalam konteks mereka sebagai pria dan wanita seperti perbedaan aurat antara pria dan wanita.

Kaum sekulerlah yang kemudian datang meracuni pemikiran kaum muslimin baik pria maupun wanita sehingga membuat mereka ragu terhadap agamanya sendiri, karena akidah mereka adalah memisahkan agama dari kehidupan. Jika ketika dalam kehidupan mereka mendapati masalah, maka solusi yang dipakai adalah aturan yang berasal dari manusia itu sendiri yang sarat kepentingan. Yang faktanya tidak berpihak kepada nasib perempuan. Muncullah gerakan feminisme.

Gerakan feminis pada mulanya adalah gerak sekelompok aktivis perempuan barat, yang kemudian lambat laun menjadi gelombang akademik di universitas-universitas, termasuk negara-negara Islam, melalui program ”woman studies”. Gerakan perempuan telah mendapat “restu” dari Perserikatan Bangsa Bangsa perempuan dengan dikeluarkannya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women).

Dengan mengatasnamakan HAM, para aktivis perempuan kemudian berusaha mempengaruhi pemerintah dalam masalah kebijakan sampai teknis operasional. Usaha mereka sepertinya mulai menampakan hasil dengan diratifikasinya isi CEDAW sehingga keluarlah UU No. 7 tahun 1984. Kemudian Pemerintah Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), UU Perlindungan Anak, dan mereka berupaya melakukan legalisasi aborsi melalui amandemen UU Kesehatan. Dalam bidang politik, feminis berada di belakang keluarnya UU Pemilu tahun 2008 tentang kuota caleg perempuan sebanyak 30 persen.

Pada dekade 1560 di Eropa, reformasi yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Wanita pada masa itu tak mendapatkan haknya secara benar.

Keadilan bagi perempuan telah diterapkan jauh sebelum Eropa, berupa syariat khusus kepada wanita dengan sifat kewanitaannya, terkait amal hamil, menyusui, merawat dan mendidik anak bukan pada pria. Sebaliknya, Allah menetapkan pria sebagai pemimpin atas wanita, imam salat, penguasa, menafkahi istri dan keluarga, dan keputusan talak ada di tangannya. Bukan dalam rangka diskriminasi atau setara tidak setara. Setiap dari kewajiban dan hak yang dibebankan Allah kepada pria dan wanita baik khusus maupun umum, akan dimintai pertanggungjawaban. Allah menyebutnya sebagai “bagian dari apa yang mereka usahakan”.

Wallahua’lam bisshowab.

[Lm/Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis