Pemilu Bikin Hati Ngilu
Oleh: Kunthi Mandasari
(Member Akademi Menulis Kreatif)
LensaMediaNews- Pesta demokrasi telah usai digelar. Sayangnya terlalu banyak kisah miris yang belum usai. Bukan hanya berbagai kecurangan yang masih disoroti, tetapi juga banyaknya nyawa petugas yang harus melayang. Dikutip dari CNN Indonesia (07/05), data sementara secara keseluruhan petugas tewas mencapai 554 orang. Baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), maupun dari personel Polri.
Berdasarkan data yang dihimpun KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sedangkan petugas sakit mencapai 3.788 orang. Jumlah tersebut bertambah dari hari sebelumnya yaitu 424 orang meninggal dan 3.668 orang yang sakit.
Dari Bawaslu sendiri ada 92 anggota Panwaslu yang meninggal. Selain itu, ada 398 orang masih rawat inap di rumah sakit, 1.592 orang rawat jalan, 250 orang mengalami kecelakaan, serta tercatat 14 orang cacat tetap dan 14 petugas mengalami keguguran. Selain itu tercatat 22 anggota Mabes Polri yang meninggal dunia, akibat kelelahan mengawal proses panjang Pemilu.
Sangat disayangkan, pesta pergantian pemimpin yang harusnya membawa kebahagiaan justru berujung malapetaka. Sehingga harus memakan banyak korban. Ratusan nyawa harus melayang dan ribuan orang harus menjalani perawatan. Jumlah yang sangat fantastis karena jumlah korbannya seperti jumlah korban bencana alam. Bahkan korban meninggal akibat Pemilu mengungguli korban tsunami di selat Sunda tahun 2018 yang hanya mencapai 426 korban meninggal.
Hal ini harus menjadi evaluasi serius bagi semua pihak. Pemilu dan Pileg serentak yang digadang-gadang sebagai ajang pencarian pemimpin yang demokratis dan praktis justru berujung pada berbagai persoalan. Beginilah ketika sebuah aturan yang lahir hanya dari kata mufakat. Berdasarkan pandangan subjektifitas setiap orang yang duduk menyejajarkan dirinya dengan Tuhan. Membuat aturan dengan akal yang terbatas, namun begitu jumawa seolah-olah apa yang diputuskan adalah hasil final yang mewakili suara Tuhan.
Namun untuk ke sekian kalinya, Allah ingin menunjukkan kuasa-Nya. Bahwa sehebat apapun manusia dalam membuat aturan tak akan mampu menandingi Allah SWT. Agar mereka sadar bahwa pembuat hukum ialah hak prerogatif Allah semata. Bukan hak manusia yang harusnya bersikap taat terhadap aturan Sang Pencipta. Bukan menjadi penentang.
Seorang pemimpin sendiri harusnya dipilih semata-mata karena ketaatannya kepada Allah. Serta metode dalam pemilihannya mengikuti apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Dimana dalam sistem Islam pemilihan kepala negara dilakukan melalui baiat in’iqad (pengangkatan) dan diikuti baiat taat oleh kaum muslim. Cara yang mudah dan sederhana tanpa harus memakan korban. Dan yang pasti pemimpin yang dipilih adalah mereka yang mampu mengurusi hajat orang banyak. Menjadi seorang pemimpin juga bukanlah perkara yang mudah, maka tak heran jika mereka yang paham justru enggan memperebutkan. Apalagi harus menggunakan cara yang curang dan culas untuk mendapatkan kemenangan.
Mereka yang meninggal selama bertugas dalam Pemilu memang banyak mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Bahkan dianggap sebagai pahlawan pejuang demokrasi. Serta akan diberikan santunan sejumlah uang. Namun apakah mampu menggantikan peran mereka di tengah keluarga? Serta apakah mereka harus bangga dengan gelar tersebut? Sedangkan mereka meninggal dalam keadaan memperjuangkan Pemilu yang lahir dari demokrasi, yang jelas-jelas sistem sekuler yang menafikan peranan Tuhan dalam mengatur kehidupan. Sistem kufur yang menjadi penyebab terjadinya berbagai kerusakan.
Seharusnya musibah dalam Pemilu ini menjadi pembelajaran berharga. Bahwa tidak ada aturan yang patut digunakan kecuali aturan Sang Pencipta yakni syariat Islam. Karena sesungguhnya Islam merupakan solusi paripurna dalam kehidupan. Bahkan untuk urusan pemilihan kepala negara telah diatur, serta implementasinya sangat mudah, sederhana, dan efisien.
Wallahu’alam bishshawab.
[LS/Ah]