Demokrasi, Sistem Rusak Yang Diagungkan

 

Oleh: Ika Nur Wahyuni

LenSaMediaNews– Gelaran Pemilu 2019 untuk memilih Capres-Cawapres serta anggota Dewan berlangsung kisruh. Klaim kemenangan dilakukan oleh 2 kubu yang bersaing untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Berbagai tindak kecurangan terpampang nyata di depan mata tanpa ada tindakan tegas dari aparat berwenang. Rakyat yang sejatinya menginginkan perubahan rezim pun dibuat resah.

Pemilu kali ini menelan banyak korban jiwa. Hingga Rabu (8/5) jumlah petugas KPPS yang meninggal bertambah menjadi 570 orang dan 3.658 orang lainnya menderita sakit diduga kelelahan. (Jawapos, 8/5/2019). Bahkan ratusan petugas KPPS di Sleman, Yogyakarta mengaku tak kunjung menerima honor yang berkisar antara 550 ribu sampai dengan 500 ribu (Tirto.id, 22/4/2019).

Mahalnya penyelenggaraan pemilu tak sebanding dengan fasilitas yang ada. Mulai dari kotak suara yang berbahan karton yang rentan oleh kerusakan dan kecurangan, distribusi yang lambat di beberapa daerah pemilihan hingga honor yang sangat kecil untuk para petugas KPPS dengan beban kerja yang sangat berat.

Sungguh ironis, demokrasi yang begitu diagungkan mampu membawa perubahan yang lebih baik dan mensejahterakan rakyat hanya menjadi ajang tipu-tipu. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korban. Baik secara materi maupun secara fisik. Slogan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat hanya ada pada tataran teori belaka.

 

Kebobrokan Demokrasi

Meski populer, demokrasi adalah sistem yang sangat mahal. Jeffrey Winters menilai Indonesia merupakan negara demokrasi tanpa hukum. Pasca runtuhnya rezim Soeharto, sistem demokrasi justru beralih ke sistem oligarki. Akibatnya hukum yang diharapkan membatasi dan mengawal pemerintah justru tunduk kepada penguasa (pemerintah).

Sejatinya, sistem demokrasi cacat sejak kelahirannya. Menurut Aristoteles (348-322 M) dalam bukunya “Politics” menyebut demokrasi sebagai Mobocracy atau the rule of the Mob (hukum rimba) karena pemerintahan yang dilakukan oleh sekelompok minoritas di dewan perwakilan yang mewakili kelompok mayoritas (rakyat) akan berubah menjadi pemerintahan anarkis. Yang akhirnya menjadi ajang konflik kepentingan kelompok sosial dan elit kekuasaan.

Plato (472-347 SM) mengatakan bahwa liberalisasi adalah akar demokrasi. Orang-orang akan mengejar kemerdekaan dan kebebasan individu yang tidak terbatas dan mengakibatkan bencana bagi negara dan rakyatnya. Timbullah berbagai tindak kekerasan (violence), ketidaktertiban atau kekacauan (anarchy), tidak bermoral (licentiousness), dan ketidaksopanan (immodesty). Citra negara dan bangsa benar-benar rusak dan buruk.

 

Bertentangan dengan Islam

Negara Barat gencar memasarkan demokrasi di negeri-negeri Muslim. Tujuannya untuk memberikan gambaran menyesatkan kepada kaum muslim, bahwa perkara yang paling mendasar dalam demokrasi adalah pemilihan penguasa. Mereka berhasil mempengaruhi negeri-negeri Muslim karena saat ini kaum Muslim mengalami kemunduran dari segi pemikiran.

Kemunduran berpikir ini yang mengakibatkan umat muslim termasuk para ulama menyatakan Islam sejalan dengan demokrasi atau demokrasi tidak bertentangan dengan Islam. Mereka beranggapan esensi demokrasi sama dengan Islam yakni musyawarah (syura), toleransi (tasamuh), keadilan (al-adl), dan persamaan (musawah).

Padahal inti dari demokrasi adalah kedaulatan dan kekuasaan ada di tangan rakyat. Artinya yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan hukum, menghalalkan dan mengharamkan suatu perbuatan adalah di tangan manusia berdasarkan suara mayoritas. Inilah perkara mendasar mengapa demokrasi adalah sistem kufur.

Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya “Ad Dimukratiyah Nizhamul Kufur” menjelaskan bahwa menurut Islam, as siyadah (kedaulatan) berada di tangan syariat bukan di tangan umat (rakyat). Artinya hanya Allah Swt yang bertindak sebagai musyari’ (pembuat hukum). Penetapan halal dan haramnya suatu perbuatan adalah hak prerogatif Allah Swt bukan dimusyawarahkan oleh dewan/parlemen.

Katakanlah : “Sesungguhnya aku berada diatas hujjah yang nyata (Alquran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al An’am [6]: 57)

Adapun perkara memilih penguasa atau pemimpin telah dinyatakan di dalam nash-nash syariah. Dan dalam pelaksanaannya dengan jalan pembaiatan seperti yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Dari sisi teknis, sistem politik Islam lebih mudah dan murah. Tidak memerlukan biaya kampanye yang menghabiskan uang rakyat dan bebas dari politik uang apalagi kecurangan.

Wallahu’alam.

[Hw/Fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis