Paradoks Politik People Power

Oleh: Tety Kurniawati

(Anggota Komunitas Penulis Bela Islam)

 

LensaMediaNews- Pasca pemilu yang masif kecurangan menghias berbagai media pemberitaan. Wacana people power kian berkumandang. Rakyat yang telah muak dengan polah kekuasaan. Berupaya memberikan perlawanan dan protes terhadap kezaliman dan kesewenangan. Mereka meyakini bahwa ada yang tidak beres di balik sistem pemerintahan dan bertekad mempertahankan hak, suara, serta kemenangan rakyat.

 Wacana people power sebelumnya dicetuskan politikus Partai Amanat Nasional, Amien Rais. Ia mengatakan akan mengerahkan massa atau people power untuk turun ke jalan jika mereka menemukan kecurangan dalam pilpres 2019.

“Kalau kami memiliki bukti adanya kecurangan sistematis dan masif, saya akan mengerahkan massa untuk turun ke  jalan, katakanlah Monas dan menggelar people power” (Tempo.co, 25/05/19).

 Seruan people power juga dilakukan oleh Eggy Sudjana. Calon anggota legislatif Partai Amanat Nasional itu dalam  pidatonya 17 April 2019 yang berujung pemeriksaan dirinya oleh Polda Metro Jaya. Sebab laporan dugaan kasus makar dan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (Tribunnews.com, 26/05/19).

Tak bisa dipungkiri kezaliman telanjang yang dipertontonkan rezim. Dengan dihalalkannya berbagai cara guna memperoleh kekuasaan dan tidak berfungsinya berbagai lembaga negara sebagaimana yang diamanatkan. Mendorong umat mengambil people power sebagai cara yang dianggap mampu mewujudkan keadilan. Apalagi people power, bukan hal baru dalam diskursus politik Indonesia. Orde baru menjadi representasi bagaimana people power menjadi kekuatan yang memutus rantai kekuasaan. Rezim orde baru tumbang, setelah berkuasa selama 32 tahun.

Kendati demikian, umat perlu memahami bahwa people power bukanlah thoriqoh shahih untuk mewujudkan perubahan dan keadilan. Terlebih menghadirkan kekuasaan yang menerapkan Islam. Hal ini bisa dibuktikan dengan tidak pernah dicontohkannya people power oleh Rasulullah sebagai metode penegakan Islam.

Berbagai kelemahan people power juga dapat menjauhkan dari tercapainya tujuan. Seperti heterogennya kepentingan, juga visi politik para kelompok pendukung koalisi. Ini yang menyebabkan people power rawan mengalami pembajakan. Sedikit saja salah strategi, konflik dan kekacauan di tengah umat tidak dapat dihindari. Akibatnya, umat justru kian jauh dari upaya penegakan Islam.

Dalam konteks kekuasaan, Nabi Saw telah menggariskan thoriqoh yang khas. Thariqah tersebut yaitu thalabun-nushrah (mencari dukungan dan perlindungan) dari ahlun-nushrah atau ahlul-quwwah , yang bertujuan untuk  memperoleh perlindungan dan memperoleh kekuasaan. Sejarah mencatat kegemilangan thoriqoh ini dalam menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah.

Maka untuk mewujudkan thoriqoh tersebut dalam kondisi saat ini ialah keberadaan partai ideologis yang bersifat politis mutlak diperlukan. Partai yang berpandangan bahwa syariat Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Dimana melakukan pembinaan masyarakat dengan ideologi Islam dan membangun opini umum terkait kewajiban menerapkan syariah dan membongkar makar penjajah yang memusuhi Islam adalah aktivitas wajibnya.

Setelah dibina, dibentuk, dan disiapkan, umat berdasarkan kesadaran dan ketakwaan akan mendukung perjuangan partai. Sementara partai sahih berupaya mendapat dukungan ahlu quwwah lewat aktivitas thalabun nushrah . Ketika kesadaran umum ditengah umat berpadu dengan keteguhan tekad para ahlu quwwah negeri tercinta ini, niscaya tak akan ada yang bisa merintangi hadirnya perubahan hakiki. Perubahan yang menghantarkan pada terwujudnya peradaban gemilang kembali.

Wallahu a’lam bishshowab.

[LS / Ah] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis