Pemilu Bukan Akhir dari Segalanya

Gegap gempita pemilu beberapa bulan ini memenuhi laman media sosial maupun elektronik. Dua pasangan calon presiden beradu program kampanye sebagai upaya memenangkan hati rakyat. Empat kali debat diselenggarakan demi peraihan suara jelang pencoblosan pada 17 April 2019. Hari H pemungutan suara berlangsung serentak, bersamaan pula dengan pemilihan para caleg daerah maupun pusat.

Hasil sementara quick count versi media elektronik, paslon 01 unggul. Namun jagad media sosial kebalikannya, paslon 02 unggul. Pemilu seakan menentukan hidup-mati seseorang. Sehingga berbagai cara peraihan suara jelang pemungutan dilakukan, termasuk apa yang disebut sebagai serangan fajar. Amplop-amplop berseliweran, bahkan sudah dipersiapkan jauh hari. Sesuai dengan ketentuan atau tidak, pemilu hari ini tidak menjadi persoalan krusial. Yang penting hasil akhir.

Menelusuri jejak perjalanan pemerintahan Islam masa lalu, kita juga akan menemukan fakta pemilu. Saat Abdurrahman bin Auf sebagai ketua KPU masa itu, mencari tahu siapa kandidat calon pemimpin kaum muslimin. Mengetuk setiap rumah di Madinah. Hingga satu nama muncul sebagai calon kandidat, Umar bin Khaththab. Seluruh rakyat Madinah tidak meragukan kapabilitas beliau sebagai pemimpin, maka dengan aklamasi Abdurahman bin Auf melakukan ba’iat terhadap Ibnu Khaththab di hadapan kaum muslimin.

Dalam pandangan Islam pemilu adalah sebuah cara memilih calon pemimpin. Dilakukan dengan jurdil, sebab amanah besar yang akan diemban. Sesungguhnya inilah intisari dari pemilu yaitu amanah. Jabatan bukan sekedar tempelan baju, namun sebuah tanggung jawab pengurusan urusan umat. Jadi, berat sekali timbangan kelak di yaumil hisab. Maka pemilu bukan sebuah akhir perjalanan. Apalagi menentukan hidup-mati seseorang. Ia adalah awal dari sebuah tanggung jawab kepemimpinan umat.

Wallahu’alam bishshawab.

 

Dwi Agustina Djati, Semarang.

[LS/Nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis