Politik Uang Melumpuhkan Iman

Oleh: Isnawati

 

LensaMediaNews- Money politic merupakan rahasia umum di masyarakat. Oknum yang ingin terpilih sebagai pejabat legislatif maupun eksekutif menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar dan sulit dihindari. Dunia perpolitikan membutuhkan uang dan dengan uang orang bisa berpolitik. Begitulah semboyan yang sering terdengar di masyarakat.

Sejumlah penelitian menyatakan bahwa kelompok masyarakat miskin dan berpendidikan rendah paling mudah dibeli suaranya, pendapat ini tidaklah benar. Sebab politik uang sudah menjadi komitmen, termasuk bagi kandidat itu sendiri. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Arief Budiman meminta aparat penegak hukum menindak tegas pelaku politik uang atau serangan fajar karena merupakan musuh bersama tandasnya (Cnnindonesia.com, 17/04/2019).

Problem politik uang bukan semata-mata terletak pada masyarakat yang mau menerima saja tetapi saat ini sudah menjadi komitmen para kandidat terutama bagi orang-orang baru di dunia politik. Sebab mereka butuh dikenal masyarakat luas dan tentunya uang sebagai fasilitasnya, inilah awal pemicu korupsi.

Ketika kompensasi atas suara mereka diperdagangkan, tentu yang bermodal besar lebih berpeluang besar. Dibandingkan mereka yang memiliki kapasitas intelektual maupun sosial yang tinggi sekalipun. Alhasil kualitas dewan baru sangat rendah tanpa punya substansi yang jelas akan tanggung jawab sebagai legislatif atau eksekutif. Apalagi kesadaran bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang diberikan umat.

Kesadaran bahwa pemilu merupakan mekanisme pemilihan yang hendaknya didasarkan pada visi dan misi program untuk menjawab persoalan-persoalan publik sangat rendah. Bergesernya tujuan pemilu ke arah nilai transaksional dengan anggapan politik uang adalah berkah dan rezeki dalam perhelatan pemilu, merupakan modus yang merusak tatanan dalam berbangsa.

Demokrasi sekulerisme menghasilkan pemimpin dengan kualitas rendah, politisi lemah, dan institusi yang rapuh. Pemilu menjadi ajang mencari keuntungan. Pemilu, Pilkada, dan Pileg akan selalu menjadi arena perebutan kursi jabatan yang diwarnai kecurangan. Politik uang meniscayakan permainan kotor untuk meraih kekuasaan.

Perjalanan perpolitikan dalam demokrasi sangat panjang dan melelahkan. Jauh dari substansi yang jelas, sehingga permainan kotor untuk meraih suara terbanyak sangat terbuka lebar demi kekuasaan menghalalkan segala cara dan menjadi hal yang wajar. Mahar politik dalam kontestasi demokrasi tak dapat dihindari walaupun realitasnya sangat berbahaya. Sebab uang dan kekuasaan merupakan landasan pijakan demokrasi kapitalisme dengan memegang teguh sekulerisme. Padahal agama adalah nasihat yang ampuh agar terhindar dari kecarut-marutan tatanan dalam berbangsa.

Islam kaffah adalah solusi yang mampu menyelesaikan masalah. Kekuasaan di tangan umat menurut ketentuan syariat dengan baiat. “Kami membaiat Rasulullah Saw untuk setia mendengar dan mentaati perintahnya baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun kami benci, dan benar-benar kami dahulukan ( HR. Muslim ).”

Politik dalam Islam dibangun berdasarkan sikap takwa. Kekuasaan diterima sebagai amanah, sebagai jembatan penghubung untuk mengurusi urusan umat. Berlandaskan syariat yang kelak akan dipertanggungjawabkan dengan rasa takut dan taat pada yang Maha Pengatur Hidup, Al Khaliq Al Mudabbir.

Islam mengatur secara sempurna politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Negara sebagai pelaksana dan pelindung akidah umat, agar tidak ada lagi politik uang yang melumpuhkan Iman. “Kalau hidup hanya sekedar hidup, kera di rimba juga hidup. Kalau kerja sekedar kerja, kerbau di sawah juga bekerja” (Buya Hamka).

 

Wallahu’alam bishshawab.

[LS/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis