Khilafah Menyatukan Keberagaman

Oleh: Eny Alfiyah S.Pd.
(Anggota El Mahira, Komunitas Peduli Generasi)

 

LensaMediaNews- Manusia tercipta sebagai makhluk sosial. Allah Swt telah menciptakannya berbangsa – bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Tak ada satu manusia yang sama walau kembar sekalipun. Keberagaman adalah sebuah keniscayaan dan hal ini menunjukkan keagungan dan kemahabesaran Allah sebagai pencipta dan pengatur manusia. Tetap saja manusia adalah hamba Allah yang harus taat pada Pencipta.

Dalam kitab Nizhomul Islam karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani disebutkan bahwa Sang Pencipta sudah memberikan seperangkat aturan untuk manusia dalam mengarungi kehidupan ini, sebab hanya pencipta lah yang mengetahui ciptaannya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya manusia menaati aturan penciptanya.

Akan tetapi demokrasi justru memberi perlakuan berbeda. Ia menggerus ketaatan muslim pada aturan penciptanya. Sebab demokrasi melahirkan pluralisme agama. Pandangan Abdul Khakam dalam Kompasiana.com, “Pluralisme menganggap semua agama adalah sama. Sedangkan kebenaran itu relatif. Tidak diperbolehkan bagi pemeluk suatu agama mengklaim bahwa agamanya saja yang benar” (23/04/13).

Dilansir dari Kompas.com, Susilo Bambang Yudhoyono khawatir kampanye kubu 02 eksklusif dan kental dengan politik identitas. Sebab menonjolkan simbol-simbol ajaran agama tertentu yang akan memecah belah persatuan Indonesia (07/04/2019).

Kekhawatiran Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menunjukkan ketakutan akan bangkitnya kesadaran politik kaum muslimin. Jika kaum muslimin sadar tentang makna politik dalam Islam, tentunya akan menyadari bahwa sistem demokrasi itu bukan dari Islam.

Sejarah telah mencatat bahwa ketika Islam diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terciptalah rahmatan lil ‘alamin. Bukan saja kaum muslimin yang merasakan tetapi non muslim pun merasakan. Bahkan binatang sekali pun turut merasakan rahmatnya. Itulah yang menyebabkan khilafah mampu menguasai 2/3 dunia.

Demokrasi merupakan sistem yang berakar dari sekularisme. Penganut sekularisme menyadari Tuhan sebagai pencipta, tetapi menolak hidup dengan aturan Tuhan. Mereka ingin membuat aturan hidup sendiri dengan penuh kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, kebebasan berkepemilikan dan kebebasan bertingkah laku.

Pendukung demokrasi menganggap ide khilafah merupakan sesuatu yang menakutkan. Disusunlah berbagai upaya massif untuk menjauhkan umat dari aktivitas politik hakiki, di antaranya mengaitkan narasi khilafah dengan islamofobia. Khilafah dianggap tidak mengakui keberagaman dan kebhinekaan disebabkan diterapkannya satu aturan dari Sang Pencipta dan pengatur hidup manusia. Mereka khawatir ini akan mengakibatkan konflik.

Jika kita mau menelisik lebih dalam, faktanya demokrasi itu penuh dengan pertentangan, perselisihan, dan percekcokan. Selalu ada kecemburuan sosial antara pihak yang lemah dengan penguasa. Penguasa senantiasa membuat aturan berdasar kepentingannya. Lebih parah lagi, mereka mengaitkan keberagaman dalam masyarakat dengan ide pluralisme.

Ironinya ide pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar dan tidak boleh ada satu agama yang menonjol. Namun faktanya justru penganut pluralisme-lah yang membabi buta menembaki muslim saat salat Jumat dan melarang muslimah memakai burqah. Inilah ilusi demokrasi yang mengakui keberagaman tapi menolak sesuatu yang berasal dari Islam.

Berbeda dengan keberagaman masa khilafah. Sangat harmonis dengan kehidupan. Terbukti dengan persaudaraan antara suku Aus dan Khazraj yang sebelumnya saling bermusuhan. Khilafah terbukti menyatukan beragam ras, bangsa, dan bahasa. Semua tunduk pada pemerintahan yang satu. Syariat Islam telah mengatur kehidupan masyarakat yang heterogen. Tidak hanya muslim. Nasrani, Yahudi, dan Majusi, semuanya hidup sejahtera di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

 

Wallahu a’lam

[LS/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis