Kala Futur Mendera
Oleh: Shafayasmin Salsabila*
Pasang surut kadar ketaatan, kuat lemahnya kondisi keimanan, menjadi lumrah di tengah sistem sekular saat ini. Sistem yang menegasikan aturan agama dari kancah kehidupan. Tunas keimanan mulai tumbuh, namun sekejap kembali layu. Saat kajian, semangat menegakkan Islam berkobar tapi setelah kembali membaur dalam masyarakat, nafsu dunia muncul seketika. Futur mendera bahkan menyelinap ke dalam benak aktivis dakwah.
Futur terjadi saat hilangnya semangat dalam beribadah, malas dalam beramal salih, enggan bersegera dalam ketaatan, mulai berani mencicipi maksiat, setelah sebelumnya sangat rajin, militan dan teguh dalam memegang hukum syara’ (aturan Islam, red). Jika futur dibiarkan berlama-lama mendiami benak, tak ayal dapat membalikkan seseorang kembali ke lubang kenistaan.
Menghentikan langkah hijrahnya, menyerah kalah dan pasrah diseret menuju kejahiliyahan. Berhenti dari dakwah, lalu melepaskan Islam sebagai pegangan kehidupan. Untuk itu, perlu segera mencarikan penawarnya, apabila gejalanya sudah mulai terasa. Jangan disepelekan apalagi didiamkan hingga berlarut-larut. Berikut, beberapa penawar kala futur menyerang.
Di antaranya: Pertama, menguatkan kecintaan kepada Allah dengan ma’rifatullah. Ma’rifatullah adalah upaya untuk mengenal Allah dengan mengoptimalkan nalar. Proses pengindraan terhadap seluruh ciptaan Allah. Baik yang tersebar di seluruh alam semesta, maupun dalam penciptaan manusia itu sendiri. Aktivitas ini tidak boleh dipandang remeh. Tidak cukup sekali atau dua kali, namun sepanjang waktu hidup yang tersisa.
Merenungi kebesaran Allah, akan membuat hati kembali tertaut. Tertawan oleh keagungan Allah, sehingga diri merasa amat kecil. Tak pantas untuk tidak taat, apalagi menyombongkan diri dengan berani mengkhianati-Nya lewat perbuatan maksiat. Semakin sering melakukan pengamatan terhadap alam semesta, kehidupan dan manusia, akan menciptakan ikatan dengan Allah dan terbangun rasa cinta.
Jika sudah merasakan manisnya rasa cinta ini, maka kerinduan untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah akan tumbuh dengan sendirinya. Lalu muncullah keinginan untuk mempersembahkan yang terbaik untuk Allah, Al-kholiq Al-Mudabbir (Sang Pencipta dan Pengatur). Kita akan kembali rajin mengejar pahala.
Kedua, me-refresh muraqabah (perasaan selalu diawasi Allah). Kehidupan yang jauh dari Islam, seringnya mengikis muraqabah pada diri seorang hamba. Lupa, bahwasanya Allah tak pernah tidur ataupun mengantuk, senantiasa mengawasi tingkah laku manusia. Gaya hidup serba bebas, mendorong syahwat untuk sibuk berkutat dengan kesenangan.
Jika sudah terbawa arus, maka perlahan kewaspadaan menghilang. Larut bersama kenikmatan yang disajikan dunia, merasa diri luput dari pertanggungjawaban atas perbuatan yang dilakukan. Karenanya penting untuk mengingat kembali firman Allah: “…. dan adalah Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (TQS. Al Fath / 48: 24).
Juga dalam surat Yunus ayat 61, “kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Alquran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya….”
Kesenangan akan membuat lupa. Maka jangan sampai hati terlalu cenderung kepadanya. Allah akan terus menyaksikan, rajin atau malasnya kita pasti akan dihisab.
Ketiga, menambah intensitas bertemu sahabat hijrah. Bersama dalam agenda-agenda kajian, berdiskusi tentang Islam, melekatkan diri bersama lingkungan yang kondusif bagi iman. Sejalan dengan itu, terus terjun ke tengah masyarakat untuk mendakwahkan Islam.
Semakin sering interaksi tersebut kita bangun, maka kobaran semangat akan menyala, membakar godaan setan yang selalu menggemboskan azzam (tekad) untuk berjuang. Komunitas, akan menguatkan semangat yang tengah lemah.
Keempat, ingat mati. Rasul pernah bersabda bahwa orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam menyiapkan kematiannya. Untuk menyongsong kehidupan akhirat yang amat panjang, bahkan tak berujung, sudah sepatutnya kita mempersiapkan bekal yang banyak.
Tak ingin menyesal dan merugi. Maka sisa waktu hidup tidak akan disia-siakan. Meski sedetik, harus dioptimalkan agar bernilai. Tak ada waktu berleha-leha, kematian tidak pernah menginformasikan kedatangannya. Futur menjadi jauh dari angan. Bagaimana bisa sempat untuk futur, sedang kematian terus mengejar.
Sekiranya keempatnya mampu diamalkan, jiwa kita akan terlindungi dari kefuturan. Meski demikian, kuasa Allah adalah hal paling utama. Maka jangan pernah lelah untuk terus berdoa memohonkan ketetapan hati dalam kebaikan. “Wahai yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu dan di atas ketaatan kepada-Mu.” (HR. At Tirmidzi No.2066).
Semoga Allah memberikan kita ke-istiqomahan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(LN/FA).
*(Founder MCQ Sahabat Hijrah Indramayu)