Politik Uang Buah dari Sistem Kapitalis
Oleh: Endang Setyowati
(Pegiat TSC)
Pesta demokrasi memang telah usai. Dengan ditandai rakyat Indonesia telah menyalurkan aspirasinya. Akan tetapi tidak berlaku bagi cerita dibalik perhelatannya. Yang masih riuh diperbincangkan.
Setiap kali pernyelenggaraan pemilu, entah itu pilpres, pileg atau pilkada selalu diwarnai polemik. Baik berupa kerusuhan antar pendukung, politik uang maupun kecurangan yang menyertainya.
Seperti di lansir oleh republika. co. id, (15/4/2019) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jabar mencatat sebanyak 636 dugaan pelanggaran selama masa kampanye Pemilihan Umum Serentak 2019. Bahkan, di masa tenang pun mereka menemukan tiga dugaan praktik politik uang di tiga daerah.
Koordinator Divisi Penindakan Pelanggaran Bawaslu Jawa Barat Sutarno mengatakan, tiga kasus tersebut merupakan hasil temuan petugas pengawas di Kota Bandung, Kabupaten Ciamis, dan Pangandaran. Sutarno menjelaskan, Bawaslu Jabar menemukan dugaan pelanggaran tersebut saat melakukan patroli di masa tenang yang dimulai sejak Ahad (14/1) pukul 00.00. Dari ketiga kasus, semuanya terkait politik uang baik pembagian uang tunai maupun barang yang bernilai.
“Dugaan sementara, semua kasus ini terkait pileg (pemilu legislatif). Semuanya dilakukan oleh tim atau calegnya sendiri,” ujar Sutarno kepada wartawan di Bandung, Senin (15/4).
Menurut Sutarno, pembagian uang tunai kepada pemilih dilakukan di Kabupaten Pangandaran dan Ciamis. Petugas Bawaslu Kabupaten Ciamis menemukan amplop berisi uang Rp25 ribu yang akan dibagikan kepada pemilih.
Ini hanyalah segelintir fakta yang ditemukan dan menjadi sinyal bahwa politik uang dalam demokrasi sangat mustahil untuk dibasmi. Politik uang sendiri merupakan bentuk pemberian sejumlah uang atau barang yang diberikan calon wakil rakyat, supaya rakyat memilih calon tersebut dalam pemilu.
Beginilah wujud demokrasi kapitalisme, dimana demokrasi yang berbiaya mahal memang membuka peluang segala bentuk kecurangan, tak terkecuali politik uang. Di sisi lain rendahnya kesadaran politik dalam masyarakat membuat para calon wakil rakyat sangat mudah melakukan money politic.
Masyarakat tidak menyadari jika suaranya dibeli oleh para calon, agar para calon bisa duduk di kursi kekuasaan. Akibatnya yang terpilih hanyalah orang-orang yang dikenal, diketahui dan disukai oleh masyarakat sekitar saja melalui politik uang yang diterima. Dan kondisi ini, semakin hari kian tumbuh subur.
Beginilah jika sistem demokrasi yang diberlakukan, meniscayakan permainan politik uang untuk meraih kekuasaan. Berbagai cara dilakukan untuk meraih suara terbanyak. Di dalam demokrasi, suara mayoritas sebagai hasil penentu akhir dari suatu keputusan. Padahal kebenaran tidak bisa diukur dari suara mayoritas.
Di dalam Islam suatu keputusan benar dan salah disandarkan kepada aturan Islam, bukan dari suara terbanyak. Politik Islam sendiri di bangun berdasarkan sikap takwa. Jika setiap individu bertakwa kepada Allah dalam segala aspek kehidupan maka akan muncul kontrol pribadi di dalam diri mereka.
Sehingga para calon pemimpin menyadari bahwa kekuasaan atau jabatan merupakan sebuah amanah yang harus diembannya. Yang mana akan dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat sekaligus oleh Allah SWT. Pemimpin dalam Islam tidak akan berlomba-lomba hanya untuk meraih kekuasaan semata.
Allah SWT berfirman:
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. An-Nisa: 58)
Maka sudah seharusnya kita mencari pemimpin yang benar-benar bertangungjawab serta mau menerapkan aturan Allah.
Sebagaimana dicontohkan pemimpin paling ideal yaitu Nabi Muhammad Saw.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab: 21)
Oleh karenanya tak ada pilihan lain lagi. Mengganti orang dan rezimnya saja tidak akan cukup. Yang perlu dilakukan adalah mengganti sistem dan seluruh perangkat aturannya dengan sistem dan aturan yang berasal dari yang maha baik lagi maha sempurna, yakni Allah SWT. Wallahu a’lam. [RA/WuD]