Di Balik Geliat Eksplorasi Keindahan Pariwisata

 

Ummu Zhafran
(Pemerhati Sosial, Pengasuh Grup Ibu Cinta Quran)

LenSaMediaNews–”Ada udang dibalik batu”

Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sulawesi Tenggara menggelar rapat kerja daerah (Rakerda) tahun 2019 di salah satu hotel di Kendari, Kamis (4/4/2019).

Adapun tujuan Rakerda seperti yang diungkap Ketua GIPI Sultra, Hugua,
“Tiga hal penting yang perlu di kembangkan di Sultra untuk meningkatkan ekonomi yakni sektor pertanian, perikanan dan pariwisata,” ujar Hugua.

Sedang ketua pelaksana Rakerda, Asep, mengatakan hasil rapat kerja tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi sumber daya alam yang berpotensi untuk dijadikan tempat wisata. Serta mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam mengalokasikan APBD di sektor pariwisata. (sultrakini.com, 5/4/2019).

Ya. Perlahan tapi pasti pariwisata di bumi Anoa mulai menggeliat. Setelah Wakatobi yang melenggang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), daerah lain pun seolah tak ingin ketinggalan. Sejak awal pemerintahan kepala daerah yang baru Gubernur Ali Mazi, pariwisata memang jadi sasaran primadona.

Salah satunya terlihat dari kenaikan Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Bintang di Provinsi Sulawesi Tenggara. Data Biro Pusat Statistik (BPS) bulan Januari 2018 tercatat 37,02. Di tahun berikutnya melejit hingga 50,94. (bps.go.id, 1/3/2019). Faktor lainnya masih banyak lagi tentunya.

Berangkat dari pandangan yang menganggap pariwisata dapat meningkatkan potensi suatu daerah, program demi program kemudian dirancang dan dijalankan. Hal ini sejalan dengan apa yang ada di level nasional. Antara lain misalnya, kementerian pariwisata menggagas wujudnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Di antara 12 Kawasan Ekonomi Khusus, empat di antaranya KEK pariwisata, yaitu KEK Mandalika (NTB), KEK Tanjung Kelayang (Bangka Belitung), KEK Morotai (Maluku Utara), dan KEK Tanjung Lesung (Banten). KEK Pariwisata secara khusus digadang menjadi objek wisata terintegrasi antara wisata alam, wisata budaya hingga wisata MICE (Meeting, Incentives, Convention, and Exhibitions).

Dengan demikian KEK pariwisata diharapkan mampu berkontribusi pada peningkatan PDB, devisa, dan membuka kesempatan kerja (lapangan kerja baru) bagi masyarakat sekitar kawasan. Sekilas terlihat pengarusutamaan pariwisata mampu berkontribusi bagi problematika ekonomi yang sedang membelit suatu negara bahkan membelit dunia. Namun perlu diingat, sesungguhnya gagasan pengarusutamaan pariwisata bukan sekadar upaya mengakhiri kemiskinan.

Mengapa demikian? Gagasan ini sejatinya berasal dari lembaga-lembaga internasional di bawah hegemoni negara-negara kapitalis yang tergabung dalam United Nation World Tourism Organisation (UNWTO). UNWTO merupakan badan khusus PBB untuk menangani urusan pariwisata yang bermarkas di Madrid, Spanyol.

UNWTO kini bekerja sama dengan badan khusus PBB lainnya, salah satunya UNESCO Global Geopark (UGG). Sebagai pemain utama UGG berusaha merealisasikan tujuan ke-1 dari SDGs (Sustainable Development Goals yaitu “end proverty” mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di mana saja.

Benarkah? Sayang faktanya tak demikian. Bahkan seperti pungguk merindukan bulan. Bagaimana tidak, kapitalisme meniscayakan manusia, alam dan kekayaan intelektual wajib didedikasikan semata untuk meraih kesejahteraan para pemodal (kedaulatan modal). Tak heran sebab ideologi ini bertumpu pada sekularisme yang menganggap sepi agama. Bahkan meminggirkannya di pojok ring kehidupan. Akibatnya tak jarang demi kepentingan kapitalisasi (baca: keuntungan) kerusakan masyarakat yang ditimbulkan tak jadi perhatian.

Aroma ‘Penjajahan’ di Balik Pelancongan?

Mustahil dipungkiri, penjajahan sejak awal merupakan metode baku penyebaran ideologi kapitalisme. Adapun sarana politik yang digunakan dalam penjajahan bisa menggunakan bantuan ekonomi melalui utang luar negeri, para ahli, dan konsep “rencana pembangunan”.

Bila ditelisik lebih jauh, secara ringkas strategi penjajahan di bidang pariwisata mengikuti pola sebagai berikut:

Pertama, klaim pariwisata sebagai kunci pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data yang dihimpun dari World Travel & Tourism Council (WTTC), sektor pariwisata telah menyumbang 313 juta lapangan kerja dan 10,4 persen pemasukan pada Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. (kompas.com, 4/10/2018). Klaim ini jelas mengesankan urgensi turisme untuk sebuah negara tanpa bisa ditawar lagi.

Kedua, jerat utang lembaga dunia melalui investasi infrastruktur pariwisata. Tahun lalu Dewan Direktur Eksekutif Bank Dunia menyepakati pinjaman senilai 300 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,1 triliun. Pinjaman ini digunakan untuk pengembangan infrastruktur sektor pariwisata. (kompas.com, 4/10/2018). Miris, karena dengan alasan apa pun hutang nyata berimbas pada kemandirian suatu negara.

Ketiga, kapitalisasi pariwisata melalui penyediaan arus modal dan investasi pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) khususnya KEK pariwisata. Terbukti Kawasan Ekonomi Khusus Bitung yang diresmikan pada pekan lalu sudah mencatat nilai investasi sebesar Rp3,8 triliun.

Sekretaris Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Enoh Suharto mengatakan bahwa sampai dengan 2030 diperkirakan total investasi yang masuk ke kawasan tersebut mencapai Rp35 triliun.

“Sekarang yang sudah commited ke kami, terdata itu sekitar Rp3,8 triliun, sudah sekitar 10 persen. Ini untuk KEK yang Bitung, kan targetnya Rp35 triliun,” katanya. (bisnis.com, 9/4/2019).

Padahal ketika program ini dieksekusi, bukan tidak mungkin eksplorasi keindahan turisme menjelma jadi eksploitasi. Menggenjot program tanpa menimbang dampak buruk yang mengintai.

Keempat, yang tak bisa dipandang remeh, hadirnya liberalisasi sosial budaya yang berpotensi meracuni generasi. Berbekal 3 f (food, fashion, fun) budaya Barat yang notabene memuja kebebasan berhasil secara mulus jadi kiblat generasi muda. Ditambah lagi dengan risiko paparan narkoba dan gaul bebas yang standby menghantui akal sehat para muda-mudi harapan bangsa.

Oleh karena itu, untuk melepaskan diri dari penjajahan pariwisata dibutuhkan kesadaran, kemauan, dan kekuatan yang bersifat ideologis dalam diri penyelenggara negara dan masyarakat. Bias ideologi negara yang selama ini condong kepada kapitalisme-demokrasi harus dihilangkan. Sebagai gantinya kembalikan penerapan ideologi yang berasal dari Penguasa Alam Semesta, Sang Khaliq. Maka jaminan mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan politik suatu negara dapat terwujud. Penerapan Islam kaffah dengan segala keagungannya yang melekat pada dirinya adalah alternatif tunggal yang sepadan untuk menghadapi penjajahan global kapitalisme. Sebagaimana yang dijanjikan Allah swt:

“Dan tiadalah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (TQS Al-Anbiya [21]: 107).

Wallaahu a’lam.

[el/fa]

Please follow and like us:

Tentang Penulis