Dampak Kenaikan Harga Terhadap Keluarga

Oleh : Iin Susiyanti
LenSaMediaNews–Seperti sudah menjadi rutinitas dan tren jika menjelang ramadan harga-harga bahan pokok mengalami kenaikan. Mulai dari beras, minyak goreng, gula pasir, bahkan bumbu dapur juga naik. Kenaikan harga bawang merah misalnya, tentu membuat emak-emak gerah dan marah. Karena para emaklah yang bersinggungan langsung dengan kebutuhan dapur.
Harga bawang merah misalnya, mengalami kenaikan tertinggi yakni 5,92 persen atau Rp. 2.000/kg menjadi Rp. 35.800/kg. Bawang putih meningkat 2,23 persen atau Rp. 700/kg menjadi Rp. 32.050/kg. Cabai merah besar naik 4,03 persen atau Rp. 1.250/kg menjadi Rp. 32.300/kg. Cabai merah keriting naik 2,14 persen atau Rp. 600/kg menjadi Rp. 28.700/kg. Cabai rawit merah naik Rp. 150/kg menjadi Rp. 38.500/kg. Kenaikan juga terjadi pada bahan pangan termasuk beras, kemudian diikuti kenaikan harga minyak goreng dan gula pasir. (CNN.Indonesia/25/3/2019)
Kenaikan bawang merah dan kenaikan bahan pangan akan menimbulkan dampak kenaikan lainnya, termasuk kenaikan harga telur, sayuran, daging dan sebagainya. Faktor yang menjadi pemicu kenaikan harga secara alami adalah adanya kelangkaan barang karena gagal produksi, yang dipengaruhi oleh iklim atau cuaca yang tidak menentu sehingga barang menjadi langka, sementara yang membutuhkan barang tersebut banyak, maka otomatis harga akan naik.
Adanya penyimpangan ekonomi dari hukum-hukum syari’ah Islam, seperti terjadinya ihtikar atau penimbunan barang, permainan harga oleh pemilik modal besar, penipuan, liberalisasi yang menghantarkan kepada penjajahan ekonomi.
Ada campur tangan pemerintah terhadap patokan harga. Cara ini sepintas mampu mengatasi lonjakan harga, sehingga harga barang menjadi stabil untuk sementara waktu. Namun cara ini dapat menyebabkan terjadinya inflasi, karena secara alami pematokan harga ini mengurangi daya beli mata uang.
Kenaikan harga tentu sangat terasa bagi keberlangsungan hidup dalam rumah tangga. Bagaimana tidak, penghasilan kepala keluarga tidak mengalami kenaikan bahkan justru mengalami penurunan, belum lagi sulitnya lapangan pekerjaan, upah buruh yang tidak menentu. Sementara harga kebutuhan pokok terus naik, maka membuat ibu rumah tangga sulit untuk mengatur keuangan dalam memenuhi kebutuhan. Ditambah beban biaya listrik, BBM, elpiji, yang semakin membengkak. Biaya pendidikan dan kesehatan yang kian mahal. Ini akan memperparah penderitaan rakyat, akibatnya angka kemiskinan dan pengangguran meningkat.
Beberapa kebijakan Khalifah dalam negara Islam dalam mengatasi kenaikan harga pangan sebagai berikut:
Pertama, Jika kenaikan harga barang terjadi karena kelangkaan barang, sementara permintaan barang besar maka negara akan melakukan intervensi pasar dengan menambah jumlah barang yaitu dengan menyuplai wilayah tersebut dengan barang-barang yang dibutuhkan dari wilayah lain. ini jelas tidak merusak pasar, justru menjadikan pasar tetap dalam kondisi stabil. Hal ini terjadi karena pada wilayah tertentu mengalami krisis, bisa karena faktor kekeringan atau serangan hama, yang mengakibatkan produksi barang berkurang. Akibatnya, suplai barang-barang di wilayah tersebut berkurang.
Kedua, Apabila kenaikan barang tersebut terjadi akibat suplai yang kurang, karena terdapat penimbunan (ihtikar) barang oleh para pedagang, negara harus melakukan intervensi dengan menjatuhkan sanksi kepada pelaku penimbunan barang. Sanksi dalam bentuk ta’zir, sekaligus kewajiban untuk menjual barang yang ditimbunnya ke pasar. Dengan begitu, suplai barang tersebut akan normal kembali.
Ketiga, Apabila kenaikan barang karena penipuan harga (ghaban fakhisy) terhadap pembeli atau penjual yang sama-sama tidak mengetahui harga pasar, maka pelakunya juga bisa dikenai sanksi ta’zir, disertai dengan hak khiyar kepada korban. Korban bisa membatalkan transaksi jual-belinya, atau dilanjutkan.
Keempat, Islam mengharamkan negara untuk mematok harga. Sehingga negara tidak ikut campur dalam menetapkan standar harga dipasaran. Justru Islam dibiarkan mengikuti mekanisme pasar terhadap permintaan dan penawaran.
Seperti yang terjadi pada zaman Rasulullah. Ketika harga barang-barang naik, para sahabat datang kepada Nabi SAW meminta agar harga-harga tersebut dipatok, supaya bisa terjangkau. Tetapi, permintaan tersebut ditolak oleh Nabi, seraya bersabda, “Allah-lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi Rezeki, dan Mematok harga.” (HR Ahmad dari Anas). Nabi tidak mau mematok harga, justru dibiarkan mengikuti mekanisme permintaan dan penawaran di pasar. Jadi intervensi bukan mematok harga, tapi dengan cara tidak merusak persaingan di pasar.
Kelima, Jika kenaikan harga terjadi karena faktor inflasi, maka negara juga berkewajiban untuk menjaga mata uangnya, dengan standar emas dan perak. Termasuk tidak menambah jumlahnya, sehingga menyebabkan jatuhnya nilai nominal mata uang yang ada.
Keenam, Jika pelaku kemaksiatan adalah penguasa, karena mengabaikan hukum syara’, maka masyarakatlah yang harus mengambil peran untuk meluruskan hal tersebut.
Begitulah cara Khalifah dalam mengatasi kenaikan harga yang terjadi di pasar, sehingga rakyat tidak akan mengalami kesulitan dalam mengatur rumahtangganya. Kesejahteraan akan dicapai jika ditopang dengan penerapan hukum Islam dalam segala aspek kehidupan.
Wallahu a’lam bishowab. [EL/Fa]